Pokok bahasan mengenai
pembuktian mengundang perbedaan pendapat diantara ahli hukum dalam
mengklasifikasikannya apakah termasuk kedalam hukum perdata atau hukum acara
perdata. Prof. Subekti, S.H. mantan ketua MA dan guru besar hukum perdata pada
Universitas Indonesia berpendapat bahwa sebenarnya soal pembuktian ini lebih
tepat diklasifikasikan sebagai hukum acara perdata (procesrecht) dan
tidak pada tempatnya di masukkan dalam B.W., yang pada asasnya hanya mengatur
hal-hal yang termasuk hukum materil. Akan tetapi memang ada suatu pendapat,
bahwa hukum acara itu dapat dibagi lagi dalam hukum acara materil dan hukum
acara formil. Peraturan tentang alat-alat pembuktian, termasuk dalam pembagian
yang pertama (hukum acara perdata), yang dapat juga dimasukkan kedalam kitab
undang-undang tentang hukum perdata materil. Pendapat ini rupanya yang dianut
oleh pembuat undang-undang pada waktu B.W. dilahirkan. Untuk bangsa Indonesia
perihal pembuktian ini telah dimasukkan dalam H.I.R., yang memuat hukum acara
yang berlaku di Pengadilan Negeri
Dilain pendapat, pembuktian atau
membuktikan menurut Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H., guru besar Fakultas
Hukum UGM Yogyakarta dalam bukunya Hukum Acara Perdata Indonesia
mengandung beberapa pengertian:
a)
Membuktikan dalam arti logis atau ilmiah
Membuktikan
berarti memberikan kepastian mutlak, karena berlaku bagi setiap orang dan tidak
memungkinkan adanya bukti lawan.
b)
Membuktikan dalam arti konvensionil
Membuktikan
berarti memberikan kepastian yang nisbi/relatif sifatnya yang mempunyai
tingkatan-tingkatan:
·
kepastian
yang didasarkan atas perasaan belaka/bersifat instuitif (conviction intime)
·
kepastian
yang didasarkan atas pertimbangan akal (conviction raisonnee)
c)
Membuktikan dalam hukum acara mempunyai arti yuridis.
Didalam ilmu hukum tidak
dimungkinkan adanya pembuktian yang logis dan mutlak yang berlaku bagi setiap
orang serta menutup segala kemungkinan adanya bukti lawan. Akan tetapi
merupakan pembuktian konvensionil yang bersifat khusus. Pembuktian dalam arti yuridis
ini hanya berlaku bagi pihak-pihak yang beperkara atau yang memperoleh hak dari
mereka. Dengan demikian pembuktian dalam arti yuridis tidak menuju
kepada kebenaran mutlak. Ada kemungkinan bahwa pengakuan, kesaksian atau surat-surat
itu tidak benar atau palsu atau dipalsukan. Maka hal ini dimungkinkan adanya
bukti lawan. Pembuktian secara yuridis tidak lain adalah pembuktian “historis”
yang mencoba menetapkan apa yang telah terjadi secara konkreto. Baik
pembuktian yang yuridis maupun yang ilmiah, maka membuktikan pada
hakekatnya berarti mempertimbangkan secara logis mengapa peristiwa-peristiwa
tertentu dianggap benar. Membuktikan dalam arti yuridis tidak lain
berarti memberikan dasar-dasar yang cukup kepada hakim yang memeriksa perkara
yang bersangkutan guna memberikan kepastian tentang kebenaran peristiwa yang
diajukan. Berbeda dengan azas yang terdapat pada hukum acara pidana, dimana
seseorang tidak boleh dipersalahkan telah melakukan tindak pidana (Presumption
of Innocence), kecuali apabila berdasarkan buki-bukti yang sah hakim
memperoleh keyakinan tentang kesalahan terdakwa. Dalam hukum acara perdata
untuk memenangkan seseorang, tidak perlu adanya keyakinan hakim. Yang penting
adalah adanya alat-alat bukti yang sah, dan berdasarkan alat-alat bukti
tersebut hakim akan mengambil keputusan tentang siapa yang menang dan siapa
yang kalah. Dengan perkataan lain, dalam hukum acara perdata, cukup dengan
kebenaran formil saja.
Kesamaan ketiga jenis pembuktian
adalah bahwa membuktikan berarti memberi motivasi mengapa sesuatu itu dianggap
benar dan didasarkan pada pengalaman dan pengamatan
Hal
ini diperkuat dengan perintah hukum yang termaktub dalam Kitab Undang-undang
Hukum Perdata bahwa pembuktian pada umumnya yang diatur dalam Buku Empat
tentang Pembuktian dan Daluarsa pasal 1865 “Setiap orang yang mengaku mempunyai
suatu hak, atau menunjuk suatu peristiwa untuk meneguhkan haknya itu atau untuk
membantah suatu hak orang lain, wajib membuktikan adanya hak itu atau kejadian
yang dikemukakan itu.
B.
MACAM-MACAM ALAT BUKTI
Menurut M. Yahya Harahap, S.H.,
dalam bukunya Hukum Acara Perdata menyatakan bahwa alat bukti (bewijsmiddel)
adalah suatu hal berupa bentuk dan jenis yang dapat membantu dalam hal memberi
keterangan dan penjelasan tentang sebuah masalah perkara untuk membantu
penilaian hakim di dalam pengadilan. Jadi, para pihak yang berperkara hanya
dapat membuktikan kebenaran dalil gugat dan dalil bantahan maupun fakta-fakta
yang mereka kemukakan dengan jenis atau bentuk alat bukti tertentu. Hukum
pembuktian yang berlaku di Indonesia sampai saat ini masih berpegang kepada
jenis dan alat bukti tertentu saja.
Sebelum
kami membahas sesuai dengan tema sub-bab kali ini, kami ingin memaparkan
terlebih dahulu perbedaan alat bukti dalam perkara pidana dan perdata. Tidak
sama jenis ataupun bentuk alat bukti yang diakui dalam perkara pidana dan
perdata. Mengenai alat bukti yang diakui dalam acara perdata diatur dalam
undang-undang Perdata Pasal 1866 KUH Perdata, Pasal 164 HIR sedangkan dalam acara
pidana diatur dalam Pasal 184 KUHAP. Untuk lebih jelasnya agar dapat
membandingkan antar alat bukti perdata dan pidana sebagai berikut:
Alat Bukti Hukum Acara Perdata
|
Alat Bukti Hukum Acara Pidana
|
(Pasal 164 HIR, 1866 BW)
|
Pasal 184 KUHAP
|
Tulisan/Surat
Saksi-saksi
Persangkaan
Pengakuan
Sumpah
|
Ket. Saksi
Ket.
Ahli
Surat
Petunjuk
Ket.
Terdakwa
|
1. Alat Bukti Tertulis (Surat)
Orang yang melakukan hubungan
hukum perdata, tentulah dengan sengaja ataupun tidak membuat alat bukti
berbentuk tulisan dengan maksud agar kelak dapat digunakan atau dijadikan bukti
kalau sewaktu-waktu dibutuhkan. Sebagai contoh: sewa menyewa, jual beli tanah
dengan menggunakan akta, jual beli menggunakan kuitansi, dan lain sebagainya.
Sebelum kami membahas secara mendalam, perlulah dilihat bentuk kerangka surat
atau alat bukti tertulis dibawah ini
Akta
adalah surat yang diberi tanda tangan, yang memuat peristiwa-peristiwa yang
menjadi dasar daripada suatu hak atau perikatan dan dibuat di depan ataupun
oleh pegawai umum atau pejabat pembuat akta tanah itu sendiri, yang dibuat
sejak pemula dengan sengaja untuk pembuktian. Unsur paling penting terkait
dengan pembuktian adalah tanda tangan. Barang siapa yang telah menandatangani
suatu surat dianggap mengetahui isinya dan bertanggung jawab. Syarat
penandatanganan dapat kita lihat pada pasal 1874 B.W.
Akta
autentik adalah akta yang dibuat dalam bentuk yang
ditentukan undang-undang oleh atau dihadapan pejabat yang berwenang untuk itu
ditempat akta dibuat’ (ps. 1868 KUH Perdata)
Dari
penjelasan pasal diatas dapat disimpulkan bahwa akta otentik dibuat oleh atau
dihadapan pejabat yang berwenang yang disebut pejabat umum. Apabila yang
membuatnya pejabat yang tidak cakap – tidak berwenang atau bentuknya cacat maka
menurut Pasal 1869 KUH Perdata : akta tersebut tidak sah atau tidak memenuhi
syarat formil sebagai akta otentik; namun akta yang demikian mempunyai nilai
kekuatan sebagai akta dibawah tangan. Sedangkan akta dibawah tangan
ialah akta yang sengaja dibuat untuk pembuktian oleh para pihak tanpa bantuan
dari seorang pejabat. Jadi semata-mata dibuat antara para pihak yang
berkepentingan.
Akta
dibawah tangan dirumuskan dalam Pasal 1874 KUH Perdata, yang mana menurut pasal
diatas, akata dibawah tangan ialah :
1. Tulisan
atau akta yang ditandatangani dibawah tangan,
2. Tidak
dibuat atau ditandatangani pihak yang berwenang.
3. Secara
khusus ada akta dibawah tangan yang bersifat partai yang dibuat oleh paling
sedikit dua pihak
Akta
pengakuan sepihak ialah akta yang bukan termasuk dalam
akta dibawah tangan yang bersifat partai, tetapi merupakan surat pengakuan
sepihak dari tergugat. Oleh karena bentuknya adalah akta pengakuan sepihak maka
penilaian dan penerapannya tunduk pada ketentuan Pasal 1878 KUH Perdata. Dengan
demikian harus memenuhi syarat:
1.
Seluruh
isi akta harus ditulis dengan tulisan tangan si pembuat dan si penandatangan;
2.
Atau
paling tidak, pengakuan tentang jumlah atau objek barang yang disebut
didalamnya, ditulis tangan sendiri oleh pembuat dan penanda tangan.
Selanjutnya ada penambahan alat bukti tertulis
yang sifatnya melengkapi namun membutuhkan bukti otentik atau butuh alat bukti
aslinya, diantaranya adalah alat bukti salinan, alat bukti kutipan dan alat
bukti fotokopi. Namun kembali ditegaskan kesemuanya alat bukti pelengkap
tersebut membutuhkan penunjukan barang aslinya.
Contoh Penyusunan
Bukti tulis – sederhana
NO.
DAFTAR BUKTI-BUKTI TERTULIS
PEMBANTAH DALAM PERKARA PERDATA DI BAWAH NO……./PDT/BANT/……./PN.BDG
= = = = = = = = = = = = = = =
= = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = =
P –
1 :
Surat No. 230/PC-BD/BDG/VI/…..tanggal …………….. . dari Bank ………. . Cabang Bandung
kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional 1 Kotamadya Bandung, perihal: Roya
Hipotek; (oleh Pd BPN)
P –
2 :
Akta Jual Beli No. ……./ …/Coblong/ …….tanggal …………….. Notaris/PPAT………………………..
P –
3 :
Akta Jual Beli No. …../ …/Coblong/…….tanggal ………………………
P –
4 :
Sertifikat Hak Milik No. …../ Kel. Sekeloa, G.S. No. ……. Tanggal ……………..Seluas
….m2, setempat di kenal sebagai Blok Bangbayang Jl. ………………… Kotamadya Bandung,
Wilayah Cibeunying, Kecamatan Coblong, Kelurahan Sekeloa, atas nama ………………….. .
P –
5 :
Sertifikat Hak Milik No. ……./ Kel. Sekeloa, G.S. No. ……. Tanggal 27-6-1983
Seluas ….m2, setempat dikenal sebagai Blok Ciheulang Kotamadya Bandung, Wilayah
Cibeunying, Kecamatan Coblong, Kelurahan Sekeloa, atas nama………………….. .
Disampaikan dengan hormat oleh
Kuasa Pembantah
2. Alat Bukti Saksi
Kesaksian adalah kepastian yang
diberikan kepada hakim dipersidangan tentang peristiwa yang dipersengketakan
dengan jalan pemberitahuan secara lisan dan pribadi oleh orang yang bukan salah
satu pihak dalam perkara, yang dipanggil dalam persidangan. Jadi keterangan
yang diberikan oleh seorang saksi haruslah kejadian yang telah ia alami
sendiri, sedangkan pendapat atau dugaan yang diperoleh secara berfikir tidaklah
termasuk dalam suatu kesaksian. Penerapan pembuktian dengan saksi ditegaskan
dalam Pasal 1895 KUH Perdata yang berbunyi ”pembuktian dengan saksi-saksi
diperkenankan dalam segala hal yang tidak dikecualikan oleh undang-undang”.
Jadi prinsipnya, alat bukti saksi menjangkau semua bidang dan jenis sengketa
perdata, kecuali apabila UU sendiri menentukan sengketa hanya dapat dibuktikan
dengan akta, barulah alat bukti saksi tidak dapat diterapkan.
Alat
bukti saksi yang diajukan pada pihak menurut Pasal 121 ayat (1) HIR merupakan
kewajiban para pihak pihak yang berperkara. Akan tetapi apabila pihak yang
berkepentingan tidak mampu menghadirkan secara sukarela, meskipun telah
berupaya dengan segala daya, sedang saksi yang bersangkutan sangat relevan,
menurut Pasal 139 ayat (1) HIR hakim dapat menghadirkannya sesuai dengan tugas
dan kewenangannya, yang apabila tidak dilaksanakan merupakan tindakan unproffesional
conduc.
Saksi
yang tidak datang diatur dalam Pasal 139-142 HIR, di mana saksi yang tidak
datang, para pihak dapat meminta Pengadilan Negeri untuk menghadirkannya
meskipun secara paksa (Vide Pasal 141 ayat (2) HIR).
Syarat-syarat
alat bukti saksi adalah sebagai berikut:
a)
Orang yang Cakap
Orang yang cakap adalah orang
yang tidak dilarang menjadi saksi menurut Pasal 145 HIR, Pasal 172 RBG dan
Pasal 1909 KUH Perdata antara lain, pertama keluarga sedarah dan semenda
dari salah satu pihak menurut garis lurus, kedua suami atau istri dari
salah satu pihak meskipun sudah bercerai (Vide Putusan MA No.140 K/Sip/1974. Akan tetapi mereka dalam
perkara tertentu dapat menjadi saksi dalam perkara sebagaimana diatur dalam
Pasal 145 ayat (2) HIR dan Pasal 1910 ayat (2) KUH Perdata. Ketiga anak-anak
yang belum cukup berumur 15 (lima belas) tahun (Vide Pasal 145 ke-3 HIR dan
Pasal 1912 KUH Perdata), keempat orang gila meskipun terkadang terang
ingatannya (Vide Pasal 1912 KUH Perdata), kelima orang yang selama
proses perkara sidang berlangsung dimasukkan dalam tahanan atas perintah hakim
(Vide Pasal 1912 KUH Perdata).
b)
Keterangan Disampaikan di Sidang Pengadilan
Alat bukti saksi disampaikan dan
diberikan di depan sidang pengadilan, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 144
HIR, Pasal 171 RBG dan Pasal 1905 KUH Perdata. Menurut ketentuan tersebut
keterangan yang sah sebagai alat bukti adalah keterangan yang disampaikan di
depan persidangan.
c)
Diperiksa Satu Persatu
Syarat ini diatur dalam Pasal
144 ayat (1) HIR dan Pasal 171 ayat (1) RBG. Menurut ketentuan ini, terdapat
beberapa prinsip yang harus dipenuhi agar keterangan saksi yang diberikan sah
sebagai alat bukti. Hal ini dilakukan dengan cara, pertama menghadirkan
saksi dalam persidangan satu per satu, kedua memeriksa identitas saksi
(Vide Pasal 144 ayat (2) HIR), ketiga menanyakan hubungan saksi dengan
para pihak yang berperkara.
d)
Mengucapkan Sumpah
Syarat formil yang dianggap
sangat penting ialah mengucapkan sumpah di depan persidangan, yang berisi
pernyataan bahwa akan menerangkan apa yang sebenarnya atau voir dire,
yakni berkata benar. Pengucapan sumpah oleh saksi dalam persidangan, diatur
dalam Pasal 147 HIR, Pasal 175 RBG, dan Pasal 1911 KUH Perdata, yang merupakan
kewajiban saksi untuk bersumpah/berjanji menurut agamanya untuk menerangkan
yang sebenarnya, dan diberikan sebelum memberikan keterangan yang disebut
dengan ”Sistim Promisoris”.
e)
Keterangan Saksi Tidak Sah Sebagai Alat Bukti
Menurut Pasal 169 HIR dan Pasal
1905 KUH Perdata, keterangan seorang saksi saja tidak dapat dipercaya, sehingga
minimal dua orang saksi (unus testis nullus testis) harus dipenuhi atau
ditambah alat bukti lain.
f)
Keterangan Berdasarkan Alasan dan Sumber Pengetahuan
Keterangan berdasarkan alasan
dan sumber pengetahuan diatur dalam Pasal 171 ayat (1) HIR dan Pasal 1907 ayat
(1) KUH Perdata. Menurut ketentuan ini keterangan yang diberikan saksi harus
memiliki landasan pengetahuan dan alasan serta saksi juga harus melihat,
mendengar dan mengalami sendiri
g)
Saling Persesuaian
Saling persesuaian diatur dalam
Pasal 170 HIR dan Pasal 1908 KUH Perdata. Dalam ketentuan ini ditegaskan bahwa,
keterangan saksi yang bernilai sebagai alat bukti, hanya terbatas pada
keterangan yang saling bersesuain atau mutual confirmity antara yang
satu dengan yang lain. Artinya antara keterangan saksi yang satu dengan yang
lain atau antara keterangan saksi dengan alat bukti yang lain, terdapat
kecocokan, sehingga mampu memberi dan membentuk suatu kesimpulan yang utuh
tentang persitiwa atau fakta yang disengketakan
3. Bukti Persangkaan
Menurut Prof. Subekti, S.H.,
persangkaan adalah suatu kesimpulan yang diambil dari suatu peristiwa yang
sudah terang dan nyata. Hal ini sejalan dengan pengertian yang termaktub dalam
pasal 1915 KUH Perdata “Persangkaan adalah kesimpulan yang oleh undang-undang
atau oleh hakim ditarik dari satu peristiwa yang diketahui umum ke arah suatu
peristiwa yang tidak diketahui umum”. Persangkaan dapat dibagi menjadi dua
macam sebagaimana berikut:
1). Persangkaan Undang-undang (wattelijk
vermoeden)
Persangkaan undang-undang adalah
suatu peristiwa yang oleh undang-undang disimpulkan terbuktinya peristiwa lain.
Misalnya dalam hal pembayaran sewa maka dengan adanya bukti pembayaran selama
tiga kali berturut-turut membuktikan bahwa angsuran sebelumnya telah dibayar.
2). Persangkaan Hakim (rechtelijk
vermoeden)
Yaitu suatu peristiwa yang oleh
hakim disimpulkan membuktikan peristiwa lain. Misalnya perkara perceraian yang
diajukan dengan alasan perselisihan yang terus menerus. Alasan ini dibantah
tergugat dan penggugat tidak dapat membuktikannya. Penggugat hanya mengajukan
saksi yang menerangkan bahwa antara penggugat dan tergugat telah berpisah
tempat tinggal dan hidup sendiri-sendiri selama bertahun-tahun. Dari keterangan
saksi hakim menyimpulkan bahwa telah terjadi perselisihan terus menerus karena
tidak mungkin keduanya dalam keadaan rukun hidup berpisah dan hidup
sendiri-sendiri selama bertahun-tahun.
3. Bukti Pengakuan
Pengakuan (bekentenis,
confession) adalah alat bukti yang berupa pernyataan atau keterangan yang
dikemukakan salah satu pihak kepada pihak lain dalam proses pemeriksaan, yang
dilakukan di muka hakim atau dalam sidang pengadilan. Pengakuan tersebut berisi
keterangan bahwa apa yang didalilkan pihak lawan benar sebagian atau seluruhnya
(Vide Pasal 1923 KUH Perdata dan Pasal 174 HIR).
Secara umum hal-hal yang dapat
diakui oleh para pihak yang bersengketa adalah segala hal yang berkenaan dengan
pokok perkara yang disengketakan. Tergugat dapat mengakui semua dalil gugatan
yang dikemukakan penggugat atau sebaliknya penggugat dapat mengakui segala hal
dalil bantahan yang diajukan tergugat. Pengakuan tersebut dapat berupa, pertama
pengakuan yang berkenaan dengan hak, kedua pengakuan mengenai fakta
atau peristiwa hukum.
Lalu yang berwenang memberi
pengakuan menurut Pasal 1925 KUH Perdata yang berwenang memberi
pengakuan adalah sebagai berikut:
a) Dilakukan principal (pelaku) sendiri yakni penggugat atau tergugat (Vide Pasal
174 HIR);
b) kuasa hukum penggugat atau tergugat.
Kemudian bentuk pengakuannya,
berdasarkan pendekatan analog dengan ketentuan Pasal 1972 KUH Perdata, bentuk
pengakuan dapat berupa tertulis dan lisan di depan persidangan dengan cara
tegas (expressis verbis), diam-diam dengan tidak mengajukan bantahan
atau sangkalan dan mengajukan bantahan tanpa alasan dan dasar hukum.
4. Bukti Sumpah
Sumpah sebagai alat bukti ialah
suatu keterangan atau pernyataan yang dikuatkan atas nama Tuhan, dengan tujuan
agar orang yang memberi keterangan tersebut takut akan murka Tuhan bilamana ia
berbohong. Sumpah tersebut diikrarkan dengan lisan diucapkan di muka hakim
dalam persidangan dilaksanakan di hadapan pihak lawan dikarenakan tidak adanya
alat bukti lain. Sedangkan Soedikno berpendapat bahwa “Sumpah pada umumnya adalah
suatu pernyataan yang hikmat yang diberikan atau diucapkan pada waktu memberi
janji atau keterangan dengan mengingat akan sifat maha kuasa dari pada Tuhan,
dan percaya bahwa siapa yang memberi keterangan atau janji yang tidak benar
akan dihukum oleh-Nya”
Menurut UU ada dua macam bentuk
sumpah, yaitu sumpah yang “menentukan” (decissoire eed) dan “tambahan” (supletoir
eed). Sumpah yang “menentukan” (decissoire eed) adalah sumpah
yang diperintahkan oleh salah satu pihak yang berperkara kepada pihak lawan dengan
maksud untuk mengakhiri perkara yang sedang diperiksa oleh hakim. Jika
pihak lawan mengangkat sumpah yang perumusannya disusun sendiri oleh pihak yang
memerintahkan pengangkatan sumpah itu, ia akan dimenangkan, sebaliknya, jika ia
tidak berani dan menolak pengangkatan sumpah itu, ia akan dikalahkan. Pihak
yang diperintahkan mengangkat sumpah, mempunyai hak untuk “mengembalikan”
perintah itu, artinya meminta kepada pihak lawannya sendiri mengangkat sumpah
itu. Tentu saja perumusan sumpah yang dikembalikan itu sebaliknya dari
perumusan semula. Misalnya, jika rumusan yang semula berbunyi : “Saya bersumpah
bahwa sungguh-sungguh Saya telah menyerahkan barang” perumusan sumpah yang
dikembalikan akan berbunyi “Saya bersumpah bahwa sungguh-sungguh Saya tidak menerima
barang”. Jika sumpah dikembalikan, maka pihak yang semula memerintahkan
pengangkatan sumpah itu, akan dimenangkan oleh hakim apabila ia mengangkat
sumpah itu. Sebaliknya ia akan dikalahkan apabila dia menolak pengangkatan
sumpah itu.
Jika suatu pihak yang berperkara
hendak memerintahkan pengangkatan suatu sumpah yang menentukan, hakim harus
mempertimbangkan dahulu apakah ia dapat mengizinkan perintah mengangkat sumpah
itu. Untuk itu hakim memeriksa apakah hal yang disebutkan dalam perumusan sumpah
itu sungguh-sungguh mengenai suatu perbuatan yang telah dilakukan sendiri oleh
pihak yang mengangkat sumpah atau suatu peristiwa yang telah dilihat sendiri
oleh pihak itu. Selanjutnya harus dipertimbangkan apakah sungguh-sungguh dengan
terbuktinya hal yang disumpahkan itu nanti perselisihan antara kedua pihak yang
berperkara itu dapat diakhiri, sehingga dapat dikatakan bahwa sumpah itu
sungguh-sungguh “menentukan” jalannya perkara. Suatu “sumpah tambahan”, adalah
suatu sumpah yang diperintahkan oleh hakim pada salah satu pihak yang beperkara
apabila hakim itu barpendapat bahwa didalam suatu perkara sudah terdapat suatu
“permulaan pembuktian”, yang perlu ditambah dengan penyumpahan, karena
dipandang kurang memuaskan untuk menjatuhkan putusan atas dasar bukti-bukti
yang terdapat itu. Hakim, leluasa apakah ia akan memerintahkan suatu sumpah
tambahan atau tidak dan apakah suatu hal sudah merupakan permulaan pembuktian.
Untuk lebih jelasnya kami
membuatkan table tentang perbedaan antar kedua macam sumpah ini;
Sumpah
|
|
Decissoir
|
Suppletoir
|
|
|
Dikenal
juga dalam Hukum Acara Perdata sumpah aestimatoir (penaksiran) yang
diangkat oleh salah satu pihak atas perintah hakim untuk mengucapkan sumpah
dalam rangka menentukan jumlah kerugian yang diderita atau mengenai suatu harga
barang tertentu yang disengketakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar