NORMA HUKUM
Norma
adalah suatu ukuran yang harus dipatuhi oleh seseorang dalam hubungannya dengan
sesamanya ataupun dengan lingkungannya. Istilah norma berasal dari bahasa
latin, atau kaidah dalam bahasa arab, sedangkan dalam bahasa Indonesia sering
juga disebut dengan pedoman, Patokan atau aturan. Norma mula-mula diartikan
denga siku-siku, yaitu garis tegak lurus yang menjadi ukuran atau patokan untuk
membentuk suatu sudut atau garis yang dikehendaki. Dalam perkembangannya, norma
itu diartikan sebagai suatu ukuran atau patokan bagi seseorang dalam bertindak
atau bertingkah laku dalam masyarakat, jadi inti suatu norma adalah segala aturan
yang harus dipatuhi. Sampai saat ini, baik pengertian kaidah maupun norma
dipakai secara bersamaan oleh para sarjana Indonesia. Dalam bukunya “prihal kaidah
hukum”, Soerjono Soekanto dan Punardi Purbacaraka mengemukakan bahwa, kaedah
adalah patokan atau ukuran ataupun pedoman untuk berperilaku atau bersikap
tindak dalam hidup. Apabila ditinjau bentuk hakikatnya, maka kaedah merupakan
perumusan suatu pandangan (“oordeel”) mengenai perikelakuan atau pun sikap
tindak. Norma baru bisa dilakukan apabila terdapat lebih dari satu orang, karena
norma mengatur tata cara berhubungan dengan orang lain, atau terhadap
lingkugannya, atau juga dengan kata lain norma dijumpai dalam suatu pergaulan
hidup manusia. Norma hukum itu dapat dibentuk secara tertulis maupun tidak tertulis
oleh lembaga-lembaga yang berwanang membentuknya, sedangkan norma-norma moral,
adat, agama, dan lainnya terjadi secara tidak tertulis tetapi tumbuh dan
berkembang dari kebiasaan-kebiasaan yang ada dalam masyarakat.
Kebiasaan-kebiasaan yang terjadi, akan selalu sesuai dengan rasa keadilan dalam
masyarakat tersebut, yang berulangkali terjadi, akan selalu sesuai dengan rasa
kadilan dalam masyarakat tersebut, berbeda dengan norma-norma hukum Negara yang
kadang-kadang tidak selalu sesuai dengan rasa keadilan/ pendapat masyarakat.
B.
Hukum Sebagai Sistim Norma yang Dinamik
Menurut
Hans Kalsen hukum adalah termasuk dalam system norma yang dinamik (nomodynamics)
oleh karena hukum itu selalu dibentuk dan dihapus oleh lembaga-lembaga atau
otoritas-otoritas yang berwenang membentuk dan menghapusnya, sehingga dalam hal
ini tidak dilihat dari segi berlakunya atau pembentuknya. Hukum itu adalah sah
(valid) apabila dibuat oleh lembaga atau otoritas yang berwenang membentuknya serta
bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi, sehingga dalam hal ini
norma yang lebih rendah (inferior), dan hukum itu berjenjang-jenjang dan
berlapis-lapis membentuk suatu hierarkhi.
C.
Dinamika Norma Hukum Vertikal dan Horizontal
Dinamika
norma hokum yang vertical adalah dinamika yang berjenjang dari
atas ke bawah, atau dari bawah ke atas. Dalam dinamika yang vertical ini suatu
norma hukum itu berlaku, bersumber dan berdasar pada hukum norma hukum
diatasnya, norma hukum yang berada diatasnya berlaku, bersumber, dan berdasar
pada norma hukum
di
atasnya, demikian seterusnya samapai pada suatu norma hukum yang menjadi dasar
dari semua norma hukum dibawahnya. Begitu pula dinamika norma hukum dari atas
ke bawah. Dinamika yang vertical ini dapat dilihat dalam tata susunan norma hukum
yang ada di Negara Republik Indonesia, secara berurutan mulai dari Pancasila
sebagai Norma Dasar Negara yang merupakan sumber dan dasar bagi terbentuknya
norma-norma dalam Batang Tubuh UUD 1945; demikian juga norma-norma hukum yang
berada dalam Batang Tubuh UUD 1945 menjadi sumber dan dasar bagi terbentuknya norma-norma
hukum dalam Ketetapan Majlis Permusyawaratan Rakyat (Ketetapan MPR) , dan
norma-norma yang berada dalam Ketetapan MPR ini menjadi Sumber dan dasar bagi
pembentukan Norma-Norma dalam Undang-Undang, demikian seterusnya kebawah. Dinamika
norma hukum yang horizontal adalah dinamika yang bergerak kesamping.
Dikatakan kesamping dikarenakan adanya suatu analogi yaitu penarikan suatu
norma hukum untuk kejadian-kejadian lainnya yang dianggap serupa. Contohnya,
dalam kasus tentang “perkosaan”, seorang hakim telah mengadakan suatu penarikan
secara analogi dari ketentuan tentang “perusakan Barang” sehingga terhadapa suatu
“perkosaan”, selain dikenakan sanksi pidana dapat juga diberikan pembayaran
ganti rugi.
C.
Perbedaan Norma Hukum dan Norma Lainnya[2]
Perbedaan antara
norma hukum dan norma-norma lainnya adalah sebagai berikut:
1. Suatu norma hukum bersifat heteronom, dalam arti bahwa
norma hukum itu datangnya dari luar diri seseorang. Norma-norma lainnya
bersifat otonom, dalam arti norma itu datangnya dati dalam diri
seseorang.
2. Suatu norma hukum itu dapat dilekati dengan sanksi pidana maupun
sanksi pemaksa secara fisik, sedangkan norma lainnya tidak dapat dilekati oleh
sanksi pidana maupun sanksi pemaksa secara fisik.
3. Dalam norma hukum sanksi pidana atau sanksi pemaksa itu
dilaksanakan oleh aparat Negara, sedangkan terhadap pelanggaran norma-norma
lainnya sanksi itu datangnya dari diri sendiri.
Norma-Norma Pembentukan Perundang-undangan
1.
Norma Hukum Umum dan Norma Hukum Individual
Apabila
suatu norma hukum itu dilihat dari segi alamat yang dituju, atau siapa norma
hukum itu ditunjukan atau diperuntukan, dapat dibedakan antara norma hukum umum
dan norma hukum individual, yang biasa disebut dengan subyek hokum. Norma hukum
umum adalah suatu norma hukum yang ditunjukan untuk orang banyak, umum, dan
tidak tertentu. ‘Umum’ di sini dapat berarti bahwa suatu peraturan itu
ditunjukan untuk semua orang atau semua warganegara, sedangkan norma hukum
individual adalah norma hukum yang ditujukan atau dialamatkan pada seseorang,
beberapa orang atau banyak orang tertentu.
2.
Norma Hukum Abstrak dan Norma Hukum Konkrit
Norma
hukum abstrak adalah suatu norma hukum yang melihat pada perbuatan seseorang
yang tidak ada batasnya dalam arti konkrit. Sedangkan norma hukum konkrit
adalah suatu norma hukum yang melihat perbuatan seseorang itu secara lebih
nyata (konkrit) Dari sifat-sifat norma hukum yan umum-individul dan norma hukum
abstrakkonkrit, terdapat empat paduan kombinasi dari norma-norma tersebut,
yaitu:
- Norma hukum umum-abstrak, adalah suatu norma hukum yang ditunjukan untuk umum dan perbuatannya masih bersifat abstrak.
- Norma hukum umum-konkrit, adalah suatu norma hukum yang ditunjukan untuk umum dan perbuatannya sudah tertentu.
- Norma hukum individual-abstrak, adalah suatu norma hukum yang ditunjukan untuk seseorang atau orang-orang tertentu dan perbuatannya bersifat abstrak.
- Norma hukum individual-konkrit, adalah suatu norma hukum yang ditunjukan untuk seseorang atau seseorang atau orang-orang tertentu dan perbuatannya bersifat konkrit.
3.
Norma Hukum yang Terus-Menerus dan Norma Hukum yang Sekali-Selesai[3] Norma hukum yang berlaku
terus-menerus adalah norma hukum yang berlakunya tidak dibatasi oleh waktu,
hingga peraturan itu dicabut atau diganti dengan peraturan baru. Sedangkan
norma hukum yang berlaku sekali-selesai adalah norma hukum yang berlakunya
hanya satu kali saja dan setelah itu selesai, jadi sifatnya hanya menetapkan
saja, sehingga dengan adanya penetapan itu norma hukum selesai.
4.
Norma Hukum Tunggal dan Norma hukum Berpasangan
norma
hukum tunggal adalah norma hukum yang berdiri sendiri dan tidak diikuti dengan
oleh suatu norma hukum lainnya. Norma hukum ini hanya merupakan suatu suruhan
tentang bagaimana seseorang bertindak atau bertingkah laku sebagaimana
mestinya. Adapun norma hukum berpasangan itu terbagi 2, yaitu :
- Norma hukum primer, berisi tentang aturan atau patokan bagaimana cara seseorang berperilaku di dalam masyarakat.
- Norma hukum sekunder, berisi tentang cara penanggulangannya apabila norma hukum primer tidak terpenuhi. Norma hukum sekunder ini memberikan pedoman untuk para penegak hukum dalam bertidak apabila norma hukum primer tidak dipatuhi. Norma hukum sekunder ini juga mengandung sanksi.
5.
Norma Hukum Dalam Peraturan Perundang-Undangan
Peraturan
perundang-undangan mengandung tiga unsur, yaitu: Norma Hukum, Sifat norma hukum
dalam peraturan perundang-undangan dapat berupa perintah, larangan, pengizinan,
pembebasan.
6.
Norma berlaku ke luar, Riuter berpendapat bahwa, di dalam peraturan
perundangan-undangan
terdapat tradisi yang hendak membatasi berlakunya norma hanya bagi mereka yang
tidak termasuk, dalam organisasi pemerintah. Norma hanya ditunjukan kepada
rakyat dan pemerintah, hubungan antar sesamanya, maupun antar rakyat dan
pemerintah. Norma yang mengatur bagianbagian organisasi pemerintah dianggap
bukan norma yang sebenarnya, dan hanya dianggap norma organisasi. Oleh karena
itu, norma hukum dalam peraturan perundang-undangan selalu disebut “berlaku ke
luar”.
7.
Dalam hal ini terdapat pembedaan antara norma yang umum (algemeen) dan yang
individual (individueel), hal ini dilihat dari adressat (alamat) yang dituju,
yaitu ditunjukan kepada “setiap orang” atau kepada “orang tertentu”, serta
antara norma yang abstrak dan yang konkrit jika dilihat dari hal yang
diaturnya, apakah mengatur peristiwa-peristiwa yang tertentu atau mengatur
peristiwa-peristiwa yang tidak tertentu.
Norma
Fundamental Negara[4]
Di
dalam sistem Hukum Indonesia, terdapat satu sistem norma yang di sebut “subsistem
norma hukum Indonesia” menurut penjelasan UUD 1945, dalam subsistem norma hukum
ini pancasila ditempatkan dalam kedudukan norma tertinggi negara, apabila
mengikuti teori bangunan jenjang tata hukum Hans Nawiansky, maka norma
tertinggi bagi subsistem kenegaraan itu disebut norma fundamental negara. Norma
Fundamental Negara (Staatsfundamental norm dalam bahasa Jerman) adalah
kedudukan sebagai kaidah negara yang fundamental. Teori tentang staatsfundamentalnorm
ini dikembangkan oleh Hans Nawiasky, seorang ahli hukum berkebangsaan Jerman.
Hans Nawiansky menyempurnakan teori yang
dikembangkan
oleh gurunya, Hans Kelsen. Hans Kelsen mengembangkan teori Hirearki Norma Hukum
(stufentheorie Kelsen) bahwa norma-norma hukum itu berjenjang-jenjang dan
berlapis-lapis dalam suatu hirearki tata susunan, dimana suatu norma yang lebih
rendah berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi, demikian seterusnya
sampai pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat
hipothesis dan fiktif, yaitu Norma Dasar (Grundnorm) Hans Nawinsky
mengembangkan teori tersebut dan membuat Tata Susunan Norma
Hukum
Negara dalam empat tingkatan:
- Staatsfundamentalnorm (Norma 1. Fundamental Negara)
- Staatsgrundgezets (Aturan Dasar/Pokok Negara)
- Formell Gezets (UU Formal)
- Verordnung & Autonome Satzung (Aturan Pelaksana dan Aturan otonomi)
Menurut
teori Kelsen-Nawiansky grundnorm atau staatsfundamentalnorm adalah[5] sesuatu yang abstrak,
diasumsikan tidak tertulis, ia tidak ditetapkan tetapi diasumsikan, tidak
termasuk tatanan hukum positif, berada di luar namun menjadi
dasar
keberlakuan tertinggi bagi tatanan hukum positif. Seorang ahli hukum Indonesia,
Notonagoro berpendapat lain. Teori Notonagoro berbeda dengan teori
Kelsen-Nawiasky. Notonagoro menyatakan bahwa Grundnorm bisa juga tertulis.
Pancasila mengandung norma yang digali dari bumi Nusantara, semula tidak
tertulis tetapi kemudian ditulis. Bangsa Indonesia telah sepakat bahwa sistem 1
nilai yang dijadikan pedoman atau norma untuk mengatur sikap dan perilaku warga
negara Indonesia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara ialah Pancasila. Pembukaan
UUD 1945 sebagai suatu Norma Fundamental Negara, yang menurut istilah
Notonagoro merupakan Pokok Kaidah Fundamental Negara Indonesia ialah norma yang
merupakan dasar bagi pembentukan konstitusi atau undang-undang dasar dari suatu
negara, termasuk norma pengubahnya. Hakikat hukum suatu Staatsfundamentalnorm
ialah syarat bagi berlakunya suatu konstitusi atau undangundang dasar. Ia
terlebih dahulu ada sebelum adanya konstitusi atau undangundang dasar. Hubungan
antara norma fundamental negara, Pancasila dengan aturan dasar negara, yaitu
undang-undang Dasar 1945 dapat ditemukan pada penjelasan UUD 1945 (Sebelum di
Amandemen), yaitu penjelasan umum Angka II sebagai berikut :
”Undang-Undang
Dasar menciptakan pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam pembukaan di dalam
pasal-pasalnya. Pokok-pokok pikiran tersebut meliputi suasana kebatinan
Undang-Undang Dasar negara Republik Indonesia. Pokok-pokok pikiran ini
mewujudkan cita-cita hukum yang menguasai hukum dasar negara baik hukum dasar
yang tertulis (UUD) maupun hukum dasar yang tidak tertulis. Undang-Undang Dasar
menciptakan pokok-pokok pikiran didalam pasal-pasalnya.
Pokok-pokok pikiran
yang terdapat dalam pembukaan UUD 1945 :
- Negara persatuan, yaitu negara yang melindungi dan meliputi segenap bangsa Indonesia negara yang mengatasi paham golongan dan perseorangan, serta menghendaki persatuan segenap bangsa Indonesia.
- Keadilan sosial, yaitu negara mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
- Kedaulatan rakyat, yaitu Negara berdasar atas paham kedaulatan rakyat,beardasar atas kerakyatan dan permusyawaratan / Perwakilan.
- Ketuhanan Yang Maha Esa, menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.
Pokok-pokok
pikiran dalam Pembukaan UUD 1945 tidak lain adalah pancaran dari[6]
nilai
nilai dasar Pancasila. Nilai nilai Pancasila itu selanjutnya dijabarkan dalam pasal-pasal
UUD 1945.
Azas
Perundang-undangan[7]
- Azas legalitas, berisikan “nullum delictum nula poena sine praevia lege poenali”, yang artinya tidak ada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali telah ada ketentuan atau undang-undangnya. Hal ini dapat dipahami bahwa segala perbuatan pelanggaran atau kejahatan apapun tidak dapat dipidana atau diberi hukuman bila tidak ada undang-undang yang mengaturnya.
- “Lex specialis derogat legi generali”, artinya hukum yang khususmengesampingkan hukum yang umum. Atau segala undang-undang ataupunperaturan yang khusus mengabaikan atau mengesampingkan undang-undangyang umum. Contoh : Apabila terdapat kekerasan dalam rumah tangga, maka pelaku dapat dikenai UU KDRT, bukan KUHPidana. Pemakaian hukum yang khusus ini antara lain karena hukumannya yang lebih berat dibandingkan dengan KUHPidana.
- “Lex posteriori derogat legi priori”, artinya hukum yang baru mengesampingkan hukum yang lama. Maksudnya ialah, UU yang baru mengabakan atau mengesampingkan UU yang lama dalam hal yang sama. Dengan kata lain UU yang baru ini dibuat untuk melengkapi dan menyempurnakan serta mengoreksi UU yang lama. Sehingga UU yang lama sudah tidak berlaku lagi.
- “Lex superior derogat legi inferiori”, artinya hukum yang urutan atau tingkatnya lebih tinggi mengesampingkan atau mengabaikan hukum yang lebih rendah. Bila terdapat kasus yang sama, akan tetapi ketentuan undangundangnya berbeda, maka ketentuan undang-undang yang dipakai adalah UU yang tingkatnya lebih tinggi. Contoh : UU lebih tinggi dari PP. Asas undang-undang tidak dapat diganggu gugat, asas ini misalnya secara tegas dicantumkan dalam pasal 95 ayat 2 Undang-undang Dasar Sementara 1950.
- Peraturan Perundang-undangan sebagai sarana untuk semaksimal mungkin dapat mencapai kesejahteraan spiritual dan materil bagi masyarakat maupunindividu, melalui pembaharuan atau pelestarian (asas welvaarstaat).
kalau copas jangan asal mas, dipelajari dulu apakah betul yang dicopas
BalasHapus