Selasa, 03 Februari 2015

NORMA HUKUM & SUMBER HUKUM PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG


NORMA HUKUM
A. Pengertian Norma 
Norma adalah suatu ukuran yang harus dipatuhi oleh seseorang dalam hubungannya dengan sesamanya ataupun dengan lingkungannya. Istilah norma berasal dari bahasa latin, atau kaidah dalam bahasa arab, sedangkan dalam bahasa Indonesia sering juga disebut dengan pedoman, Patokan atau aturan. Norma mula-mula diartikan denga siku-siku, yaitu garis tegak lurus yang menjadi ukuran atau patokan untuk membentuk suatu sudut atau garis yang dikehendaki. Dalam perkembangannya, norma itu diartikan sebagai suatu ukuran atau patokan bagi seseorang dalam bertindak atau bertingkah laku dalam masyarakat, jadi inti suatu norma adalah segala aturan yang harus dipatuhi. Sampai saat ini, baik pengertian kaidah maupun norma dipakai secara bersamaan oleh para sarjana Indonesia. Dalam bukunya “prihal kaidah hukum”, Soerjono Soekanto dan Punardi Purbacaraka mengemukakan bahwa, kaedah adalah patokan atau ukuran ataupun pedoman untuk berperilaku atau bersikap tindak dalam hidup. Apabila ditinjau bentuk hakikatnya, maka kaedah merupakan perumusan suatu pandangan (“oordeel”) mengenai perikelakuan atau pun sikap tindak. Norma baru bisa dilakukan apabila terdapat lebih dari satu orang, karena norma mengatur tata cara berhubungan dengan orang lain, atau terhadap lingkugannya, atau juga dengan kata lain norma dijumpai dalam suatu pergaulan hidup manusia. Norma hukum itu dapat dibentuk secara tertulis maupun tidak tertulis oleh lembaga-lembaga yang berwanang membentuknya, sedangkan norma-norma moral, adat, agama, dan lainnya terjadi secara tidak tertulis tetapi tumbuh dan berkembang dari kebiasaan-kebiasaan yang ada dalam masyarakat. Kebiasaan-kebiasaan yang terjadi, akan selalu sesuai dengan rasa keadilan dalam masyarakat tersebut, yang berulangkali terjadi, akan selalu sesuai dengan rasa kadilan dalam masyarakat tersebut, berbeda dengan norma-norma hukum Negara yang kadang-kadang tidak selalu sesuai dengan rasa keadilan/ pendapat masyarakat.

B. Hukum Sebagai Sistim Norma yang Dinamik
Menurut Hans Kalsen hukum adalah termasuk dalam system norma yang dinamik (nomodynamics) oleh karena hukum itu selalu dibentuk dan dihapus oleh lembaga-lembaga atau otoritas-otoritas yang berwenang membentuk dan menghapusnya, sehingga dalam hal ini tidak dilihat dari segi berlakunya atau pembentuknya. Hukum itu adalah sah (valid) apabila dibuat oleh lembaga atau otoritas yang berwenang membentuknya serta bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi, sehingga dalam hal ini norma yang lebih rendah (inferior), dan hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis membentuk suatu hierarkhi.
C. Dinamika Norma Hukum Vertikal dan Horizontal
Dinamika norma hokum yang vertical adalah dinamika yang berjenjang dari atas ke bawah, atau dari bawah ke atas. Dalam dinamika yang vertical ini suatu norma hukum itu berlaku, bersumber dan berdasar pada hukum norma hukum diatasnya, norma hukum yang berada diatasnya berlaku, bersumber, dan berdasar pada norma hukum
di atasnya, demikian seterusnya samapai pada suatu norma hukum yang menjadi dasar dari semua norma hukum dibawahnya. Begitu pula dinamika norma hukum dari atas ke bawah. Dinamika yang vertical ini dapat dilihat dalam tata susunan norma hukum yang ada di Negara Republik Indonesia, secara berurutan mulai dari Pancasila sebagai Norma Dasar Negara yang merupakan sumber dan dasar bagi terbentuknya norma-norma dalam Batang Tubuh UUD 1945; demikian juga norma-norma hukum yang berada dalam Batang Tubuh UUD 1945 menjadi sumber dan dasar bagi terbentuknya norma-norma hukum dalam Ketetapan Majlis Permusyawaratan Rakyat (Ketetapan MPR) , dan norma-norma yang berada dalam Ketetapan MPR ini menjadi Sumber dan dasar bagi pembentukan Norma-Norma dalam Undang-Undang, demikian seterusnya kebawah. Dinamika norma hukum yang horizontal adalah dinamika yang bergerak kesamping. Dikatakan kesamping dikarenakan adanya suatu analogi yaitu penarikan suatu norma hukum untuk kejadian-kejadian lainnya yang dianggap serupa. Contohnya, dalam kasus tentang “perkosaan”, seorang hakim telah mengadakan suatu penarikan secara analogi dari ketentuan tentang “perusakan Barang” sehingga terhadapa suatu “perkosaan”, selain dikenakan sanksi pidana dapat juga diberikan pembayaran ganti rugi.

C. Perbedaan Norma Hukum dan Norma Lainnya[2]
Perbedaan antara norma hukum dan norma-norma lainnya adalah sebagai berikut:
1.   Suatu norma hukum bersifat heteronom, dalam arti bahwa norma hukum itu datangnya dari luar diri seseorang. Norma-norma lainnya bersifat otonom, dalam arti norma itu datangnya dati dalam diri seseorang.
2.  Suatu norma hukum itu dapat dilekati dengan sanksi pidana maupun sanksi pemaksa secara fisik, sedangkan norma lainnya tidak dapat dilekati oleh sanksi pidana maupun sanksi pemaksa secara fisik.
3.     Dalam norma hukum sanksi pidana atau sanksi pemaksa itu dilaksanakan oleh aparat Negara, sedangkan terhadap pelanggaran norma-norma lainnya sanksi itu datangnya dari diri sendiri.

Norma-Norma Pembentukan Perundang-undangan

1. Norma Hukum Umum dan Norma Hukum Individual
Apabila suatu norma hukum itu dilihat dari segi alamat yang dituju, atau siapa norma hukum itu ditunjukan atau diperuntukan, dapat dibedakan antara norma hukum umum dan norma hukum individual, yang biasa disebut dengan subyek hokum. Norma hukum umum adalah suatu norma hukum yang ditunjukan untuk orang banyak, umum, dan tidak tertentu. ‘Umum’ di sini dapat berarti bahwa suatu peraturan itu ditunjukan untuk semua orang atau semua warganegara, sedangkan norma hukum individual adalah norma hukum yang ditujukan atau dialamatkan pada seseorang, beberapa orang atau banyak orang tertentu.
2. Norma Hukum Abstrak dan Norma Hukum Konkrit
Norma hukum abstrak adalah suatu norma hukum yang melihat pada perbuatan seseorang yang tidak ada batasnya dalam arti konkrit. Sedangkan norma hukum konkrit adalah suatu norma hukum yang melihat perbuatan seseorang itu secara lebih nyata (konkrit) Dari sifat-sifat norma hukum yan umum-individul dan norma hukum abstrakkonkrit, terdapat empat paduan kombinasi dari norma-norma tersebut, yaitu:

  1. Norma hukum umum-abstrak, adalah suatu norma hukum yang ditunjukan untuk umum dan perbuatannya masih bersifat abstrak.
  2. Norma hukum umum-konkrit, adalah suatu norma hukum yang ditunjukan untuk umum dan perbuatannya sudah tertentu.
  3. Norma hukum individual-abstrak, adalah suatu norma hukum yang ditunjukan untuk seseorang atau orang-orang tertentu dan perbuatannya bersifat abstrak.
  4. Norma hukum individual-konkrit, adalah suatu norma hukum yang ditunjukan untuk seseorang atau seseorang atau orang-orang tertentu dan perbuatannya bersifat konkrit.
3. Norma Hukum yang Terus-Menerus dan Norma Hukum yang Sekali-Selesai[3] Norma hukum yang berlaku terus-menerus adalah norma hukum yang berlakunya tidak dibatasi oleh waktu, hingga peraturan itu dicabut atau diganti dengan peraturan baru. Sedangkan norma hukum yang berlaku sekali-selesai adalah norma hukum yang berlakunya hanya satu kali saja dan setelah itu selesai, jadi sifatnya hanya menetapkan saja, sehingga dengan adanya penetapan itu norma hukum selesai.
4. Norma Hukum Tunggal dan Norma hukum Berpasangan
norma hukum tunggal adalah norma hukum yang berdiri sendiri dan tidak diikuti dengan oleh suatu norma hukum lainnya. Norma hukum ini hanya merupakan suatu suruhan tentang bagaimana seseorang bertindak atau bertingkah laku sebagaimana mestinya. Adapun norma hukum berpasangan itu terbagi 2, yaitu :
  1. Norma hukum primer, berisi tentang aturan atau patokan bagaimana cara seseorang berperilaku di dalam masyarakat.
  2. Norma hukum sekunder, berisi tentang cara penanggulangannya apabila norma hukum primer tidak terpenuhi. Norma hukum sekunder ini memberikan pedoman untuk para penegak hukum dalam bertidak apabila norma hukum primer tidak dipatuhi. Norma hukum sekunder ini juga mengandung sanksi.
5. Norma Hukum Dalam Peraturan Perundang-Undangan
Peraturan perundang-undangan mengandung tiga unsur, yaitu: Norma Hukum, Sifat norma hukum dalam peraturan perundang-undangan dapat berupa perintah, larangan, pengizinan, pembebasan.
6. Norma berlaku ke luar, Riuter berpendapat bahwa, di dalam peraturan
perundangan-undangan terdapat tradisi yang hendak membatasi berlakunya norma hanya bagi mereka yang tidak termasuk, dalam organisasi pemerintah. Norma hanya ditunjukan kepada rakyat dan pemerintah, hubungan antar sesamanya, maupun antar rakyat dan pemerintah. Norma yang mengatur bagianbagian organisasi pemerintah dianggap bukan norma yang sebenarnya, dan hanya dianggap norma organisasi. Oleh karena itu, norma hukum dalam peraturan perundang-undangan selalu disebut “berlaku ke luar”.
7. Dalam hal ini terdapat pembedaan antara norma yang umum (algemeen) dan yang individual (individueel), hal ini dilihat dari adressat (alamat) yang dituju, yaitu ditunjukan kepada “setiap orang” atau kepada “orang tertentu”, serta antara norma yang abstrak dan yang konkrit jika dilihat dari hal yang diaturnya, apakah mengatur peristiwa-peristiwa yang tertentu atau mengatur peristiwa-peristiwa yang tidak tertentu.

Norma Fundamental Negara[4]
Di dalam sistem Hukum Indonesia, terdapat satu sistem norma yang di sebut “subsistem norma hukum Indonesia” menurut penjelasan UUD 1945, dalam subsistem norma hukum ini pancasila ditempatkan dalam kedudukan norma tertinggi negara, apabila mengikuti teori bangunan jenjang tata hukum Hans Nawiansky, maka norma tertinggi bagi subsistem kenegaraan itu disebut norma fundamental negara. Norma Fundamental Negara (Staatsfundamental norm dalam bahasa Jerman) adalah kedudukan sebagai kaidah negara yang fundamental. Teori tentang staatsfundamentalnorm ini dikembangkan oleh Hans Nawiasky, seorang ahli hukum berkebangsaan Jerman. Hans Nawiansky menyempurnakan teori yang
dikembangkan oleh gurunya, Hans Kelsen. Hans Kelsen mengembangkan teori Hirearki Norma Hukum (stufentheorie Kelsen) bahwa norma-norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hirearki tata susunan, dimana suatu norma yang lebih rendah berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi, demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipothesis dan fiktif, yaitu Norma Dasar (Grundnorm) Hans Nawinsky mengembangkan teori tersebut dan membuat Tata Susunan Norma
Hukum Negara dalam empat tingkatan:
  1. Staatsfundamentalnorm (Norma 1. Fundamental Negara)
  2. Staatsgrundgezets (Aturan Dasar/Pokok Negara)
  3. Formell Gezets (UU Formal)
  4. Verordnung & Autonome Satzung (Aturan Pelaksana dan Aturan otonomi)

Menurut teori Kelsen-Nawiansky grundnorm atau staatsfundamentalnorm adalah[5] sesuatu yang abstrak, diasumsikan tidak tertulis, ia tidak ditetapkan tetapi diasumsikan, tidak termasuk tatanan hukum positif, berada di luar namun menjadi
dasar keberlakuan tertinggi bagi tatanan hukum positif. Seorang ahli hukum Indonesia, Notonagoro berpendapat lain. Teori Notonagoro berbeda dengan teori Kelsen-Nawiasky. Notonagoro menyatakan bahwa Grundnorm bisa juga tertulis. Pancasila mengandung norma yang digali dari bumi Nusantara, semula tidak tertulis tetapi kemudian ditulis. Bangsa Indonesia telah sepakat bahwa sistem 1 nilai yang dijadikan pedoman atau norma untuk mengatur sikap dan perilaku warga negara Indonesia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara ialah Pancasila. Pembukaan UUD 1945 sebagai suatu Norma Fundamental Negara, yang menurut istilah Notonagoro merupakan Pokok Kaidah Fundamental Negara Indonesia ialah norma yang merupakan dasar bagi pembentukan konstitusi atau undang-undang dasar dari suatu negara, termasuk norma pengubahnya. Hakikat hukum suatu Staatsfundamentalnorm ialah syarat bagi berlakunya suatu konstitusi atau undangundang dasar. Ia terlebih dahulu ada sebelum adanya konstitusi atau undangundang dasar. Hubungan antara norma fundamental negara, Pancasila dengan aturan dasar negara, yaitu undang-undang Dasar 1945 dapat ditemukan pada penjelasan UUD 1945 (Sebelum di Amandemen), yaitu penjelasan umum Angka II sebagai berikut :
”Undang-Undang Dasar menciptakan pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam pembukaan di dalam pasal-pasalnya. Pokok-pokok pikiran tersebut meliputi suasana kebatinan Undang-Undang Dasar negara Republik Indonesia. Pokok-pokok pikiran ini mewujudkan cita-cita hukum yang menguasai hukum dasar negara baik hukum dasar yang tertulis (UUD) maupun hukum dasar yang tidak tertulis. Undang-Undang Dasar menciptakan pokok-pokok pikiran didalam pasal-pasalnya.

Pokok-pokok pikiran yang terdapat dalam pembukaan UUD 1945 :
  1. Negara persatuan, yaitu negara yang melindungi dan meliputi segenap bangsa Indonesia negara yang mengatasi paham golongan dan perseorangan, serta menghendaki persatuan segenap bangsa Indonesia.
  2. Keadilan sosial, yaitu negara mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
  3. Kedaulatan rakyat, yaitu Negara berdasar atas paham kedaulatan rakyat,beardasar atas kerakyatan dan permusyawaratan / Perwakilan.
  4. Ketuhanan Yang Maha Esa, menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.
Pokok-pokok pikiran dalam Pembukaan UUD 1945 tidak lain adalah pancaran dari[6]
nilai nilai dasar Pancasila. Nilai nilai Pancasila itu selanjutnya dijabarkan dalam pasal-pasal UUD 1945.

Azas Perundang-undangan[7]

  1. Azas legalitas, berisikan “nullum delictum nula poena sine praevia lege poenali”, yang artinya tidak ada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali telah ada ketentuan atau undang-undangnya. Hal ini dapat dipahami bahwa segala perbuatan pelanggaran atau kejahatan apapun tidak dapat dipidana atau diberi hukuman bila tidak ada undang-undang yang mengaturnya.
  2. “Lex specialis derogat legi generali”, artinya hukum yang khususmengesampingkan hukum yang umum. Atau segala undang-undang ataupunperaturan yang khusus mengabaikan atau mengesampingkan undang-undangyang umum. Contoh : Apabila terdapat kekerasan dalam rumah tangga, maka pelaku dapat dikenai UU KDRT, bukan KUHPidana. Pemakaian hukum yang khusus ini antara lain karena hukumannya yang lebih berat dibandingkan dengan KUHPidana.
  3. “Lex posteriori derogat legi priori”, artinya hukum yang baru mengesampingkan hukum yang lama. Maksudnya ialah, UU yang baru mengabakan atau mengesampingkan UU yang lama dalam hal yang sama. Dengan kata lain UU yang baru ini dibuat untuk melengkapi dan menyempurnakan serta mengoreksi UU yang lama. Sehingga UU yang lama sudah tidak berlaku lagi.
  4. “Lex superior derogat legi inferiori”, artinya hukum yang urutan atau tingkatnya lebih tinggi mengesampingkan atau mengabaikan hukum yang lebih rendah. Bila terdapat kasus yang sama, akan tetapi ketentuan undangundangnya berbeda, maka ketentuan undang-undang yang dipakai adalah UU yang tingkatnya lebih tinggi. Contoh : UU lebih tinggi dari PP. Asas undang-undang tidak dapat diganggu gugat, asas ini misalnya secara tegas dicantumkan dalam pasal 95 ayat 2 Undang-undang Dasar Sementara 1950.
  5. Peraturan Perundang-undangan sebagai sarana untuk semaksimal mungkin dapat mencapai kesejahteraan spiritual dan materil bagi masyarakat maupunindividu, melalui pembaharuan atau pelestarian (asas welvaarstaat).



[1] http://.wordpress.com/norma-norma pembentuk perundang undangan diakses tanggal 12 maret 2014
[2] Ibid
[3] ibid
[4] http://.wordpress.com/norma fundamental negara diakses tanggal 12 maret 2014
[5] Ibid
[6] Ibid
[7] http://.wordpress.com/Azas perundang undangan diakses tanggal 12 maret 2014

1 komentar:

  1. kalau copas jangan asal mas, dipelajari dulu apakah betul yang dicopas

    BalasHapus