A.
Lembaga Pembentuk Undang-Undang[1]
Seperti
dijelaskan pada bagian sebelumnya, lembaga perwakilan rakyat atau parlemen
disebut dengan berbagai macam istilah sesuai dengan bahasa yang dipakai di
setiap negara. Bentuk, susunan, kedudukan, dan kewenangannya beragam sesuai
dengan perkembangan kebutuhan setiap negara. Namun secara umum, lembaga perwakilan
rakyat itu pada mulanya dipandang sebagai representasi mutlak warga negara
dalam rangka ikut serta menentukan jalannya pemerintahan. Apa
yang diputuskan parlemen, itulah yang dianggap sebagai putusan rakyat yang
berdaulat. Dari sinilah lahir doktrin supremasi parlemen (the principle
of supremacy of parliament). Dalam perspektif yang demikian, undangundang sebagai
produk parlemen tidak dapat diganggu gugat apalagi dinilai oleh hakim. Hakim
hanya berwenang menerapkannya bukan menilai apalagi membatalkannya. Di beberapa
Negara, doktrin supremasi parlemen ini bahkan diwujudkan dalam pelembagaan
Majelis Rakyat Tertinggi, seperti yang diterapkan di lingkungan negara-negara
komunis. Sebelum bubarnya Uni Soviet, RCC, dan negara-negara Eropa Timur pada
umumnya memiliki struktur parlemen yang memiliki kedudukan sebagai lembaga
tertinggi dalam sistem struktur ketatanegaraan yang dianut. Sebaliknya di
berbagai negara demokrasi liberal seperti Perancis, Inggris, dan Belanda,
walaupun tidak dicerminkan dalam struktur kelembagaan parlemennya, prinsip
supremasi parlemen itu dianut sangat kuat. Bahkan, sampai sekarang, Inggris dan
Belanda masih menganut prinsip bahwa undang-undang buatan parlemen tidak dapat
diganggu gugat oleh hakim, karena undang-undang itu adalah produk lembaga
parlemen yang mewakili kepentingan rakyat yang berdaulat
Di atas sudah
dijelaskan bahwa secara umum, ada 3 (tiga) prinsip perwakilan yang
dikenal
di dunia, sebagai berikut:
1. Representasi
politik (political representation)
2. Representasi teritorial
(territorial representation)
3.
Representasion fungsional (functional representation).
Pertama
adalah perwakilan melalui prosedur partai politik sebagai salah satu pilar demokrasi
modern. Namun, pilar partai politik ini dipandang tidak sempurna jika tidak
dilengkapi dengan sistem “double-checks” sehingga aspirasi dan
kepentingan seluruh rakyat benar-benar dapat disalurkan dengan baik. Oleh
karena itu, diciptakan pula adanya mekanisme perwakilan daerah (regional
representation atau perwakilan teritorial (territorial representation).
Untuk negara-negara besar dan kompleks, apalagi negara-negara berbentuk feodal,
sistem “double-cecks” ini dianggap lebih ideal, karena itu, banyak di
antaranya mengadopsi keduanya dengan membentuk struktur parlemen bikameral atau
dua kamar. Pertimbangan dibentuknya dua kamar atau dua institusi parlemen itu,
sesuai dengan pengalaman sejarah di masing-masing negara, terkadang tidak
didasarkan atas pertimbangan teritorial, melainkan didasarkan atas pertimbangan
fungsional. Misalnya, di Inggris majelis tinggi yang disebut House of Lords dibedakan
dari majelis rendah yang disebut House of Commons bukan berdasarkan
prinsip representasi politik dan representasi teritorial, melainkan berdasarkan
prinsip representasi fungsional. House of Lords mencerminkan
keterwakilan fungsional, yaitu kelompok-kelompok tuan tanah dan para bangsawan
Inggris yang dulunya
berkuasa
mutlak, yang selanjutnya ditampung kepentingannya dalam wadah House
of
Lords. Sementara itu, House of Commons mencerminkan keterwakilan
rakyat secara politik melalui peranan partai politik sebagai pilar demokrasi. Tidak
ada negara di dunia yang memiki tiga lembaga yang terpisah seperti DPR, DPD,
dan MPR dalam cabang kekuasaan legislatif dalam arti luas. Legislatif dalam arti
sempit, MPR memang tidak terlibat dalam pembentukan undang-undang, sehingga
dapat dikatakan bahwa kekuasaan yang dimilikinya tidak termasuk ke dalam
pengertian cabang kekuasaan legislative. Di
Indonesia, fungsi lembaga perwakilan atau parlemen biasanya dibedakan ke dalam
3 (tiga) fungsi, yaitu:
1.
Fungsi legislasi (legislatif);
2.
Fungsi pengawasan (control); dan
3.
Fungsi anggaran (budget).[2]
Di
sini penulis hanya menjelaskan fungsi DPR sebagai fungsi pembentuk undang undang
(legislasi). Hal ini dikarenakan, supaya tidak melebarnya pembahasan dalam
penelitian ini. Cabang legislatif adalah cabang kekuasaan pertama yang mencerminkan
asas kedaulatan rakyat. Kegiatan bernegara, adalah pertama-tama untuk mengatur kehidupan
bersama, karena itu, kewenangan untuk menetapkan peraturan harus diberikan
kepada DPR. Fungsi pengaturan (regelende functie) ini berkenaan
dengan kewenangan untuk menentukan peraturan yang mengikat warga negara dengan
norma-norma hukum yang mengikat dan membatasi. Kewenangan ini pada pokoknya
hanya dapat dilakukan sepanjang rakyat sendiri menyetujui untuk diikat dengan
norma hukum tersebut. Cabang kekuasaan yang dianggap berhak mengatur hal-hal
tersebut di atas pada dasarnya adalah DPR, maka undang-undang harus dibuat dan
ditetapkan oleh DPR dengan persetujuan bersama Presiden. Dalam Pasal 20 ayat
(1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ditentukan bahwa:
Pada pokoknya,
fungsi legislatif itu menyangkut empat bentuk kegiatan sebagai
Berikut:
1.
Prakarsa pembuatan undang-undang (legislative 1. initiation);
2.
Pembahasan rancangan undang-undang (law making process); Persetujuan
atas pengesahan rancangan undang-undang (law enachtment approval);
3. Pemberian persetujuan pengikatan atau ratifikasi atas perjanjian
atau persetujuan internasional dan dokumen-dokumen hukum yang mengikat lainnya
(binding decision making on international agreement and treaties or other
legal binding documents).
Dalam
berbagai peraturan perundang-undangan, fungsi legislasi ini biasanya memang
dianggap yang paling penting. Sejak dulu, DPR biasa dibedakan menjadi dalam 3
(tiga) fungsi, yaitu: (a) fungsi legislasi, (b) fungsi pengawasan, dan (c) fungsi
anggaran. Perbedaan ini, dapat dilihat dalam Undang-Undang tentang Susunan dan
Kedudukan Anggota MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Dalam
praktik di Indonesia, fungsi legislasilah yang dianggap utama, sedangkan fungsi
pengawasan dan penganggaran adalah fungsi kedua dan ketiga sesuai dengan urutan
penyebutannya dalam undang-undang dasar. Hal ini berdasarkan pada Pasal 20A ayat
(1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945, bahwa : “Dewan Perwakilan Rakyat memiliki
fungsi legislasi, fungsi anggaran dan fungsi pengawasan”. Fungsi legislasi mempunyai
peran yang utama sebagai fungsi dalam membentuk undang-undang. Perubahan UUD
1945 membawa dampak yang positif terhadap peran DPR dalam membentuk
undang-undang (fungsi legislasi). Perubahan ini dimaksudkan untuk memberdayakan
DPR sebagai lembaga legislatif yang mempunyai kekuasaan membentuk
undang-undang, karena peranan DPR sebelumnya hanya bertugas membahas dan
memberikan persetujuan terhadap rancangan undang-undang yang
dibuat
oleh Presiden (eksekutif). Perubahan UUD 1945 juga memberikan hak kepada
anggota DPR untuk mengajukan rancangan undang-undang. Pergeseran kewenangan
dalam membentuk undang-undang yang sebelumnya di tangan Presiden dialihkan
kepada DPR, merupakan langkah konstitusional untuk meletakkan secara tepat
fungsi lembaga negara sesuai dengan bidang tugasnya masing-masing, yakni DPR
sebagai lembaga pembentuk undang-undang (kekusaan legislatif) dan Presiden
sebagai lembaga pelaksana undang-undang (kekuasaan eksekutif).[11]
Namun demikian, UUD 1945 juga mengatur kekuasaan Presiden di bidang
legislatif, antara lain ketentuan bahwa pembahasan setiap rancangan undang-undang
(RUU) oleh DPR dilakukan secara bersama-sama dengan Presiden. Dengan pergeseran
kewenangan membentuk undang-undang itu, sesungguhnya ditinggalkan pula teori
pembagian kekuasaan (distribution of power) dengan prinsip supremasi MPR
menjadi pemisahan kekuasaan (separation of power) dengan prinsip saling
mengawasi dan saling mengimbangi sebagai ciri yang melekat. Hal ini juga
merupakan penjabaran untuk memperkuat system presidensial.
B.
Pengertian Peraturan Perundang-undangan, Undang-undang dan Harmonisasi[3]
1.
Pengertian Peraturan 2. Perundang-undangan
Peraturan
perundang-undangan mulai dikenal dan tumbuh sejak saat berkembangnya organisasi
yang memiliki kekuasaan dan wewenang tertinggi untuk menguasai dan mengatur
kehidupan masyarakat, yaitu negara. Oleh karena itu, ada anggapan bahwa peraturan
perundang-undangan tidak lain dari perwujudan kekuasaan dan kehendak yang
berkuasa dalam bentuk hukum. Bagir Manan dan Kuntana Magnar menyatakan, bahwa :
“Peraturan
perundang-undangan di sini diartikan setiap keputusan dalam bentuk tertulis
yang dikeluarkan dan ditetapkan oleh pejabat yang berwenang dan mengikat umum
(mencakup undang-undang dalam arti formal maupun material)”. Peraturan
perundang-undangan adalah perwujudan kehendak dari pemegang kekuasaan tertinggi
yang berdaulat, maka peraturan perundang-undangan merupakan hukum tertinggi dan
adalah satu-satunya sumber hukum Dari
pengertian tersebut dapat diartikan bahwa di luar peraturan perundang-undangan tidak
ada sumber hukum yang lain. Di lain pihak Maria Farida Indrati Soeprapto mendefinisikan
peraturan perundang-undangan ke dalam 2 (dua) pengertian, yaitu:
“Pertama,
sebagai proses pembentukan (proses membentuk) peraturan-peraturan negara,
baik di tingkat pusat, maupun di tingkat daerah, dan
Kedua,
sebagai segala peraturan negara yang merupakan hasil pembentukan
peraturan-peraturan, baik di tingkat pusat, maupun di tingkat daerah.”
Sementara
itu, Bagir Manan mempersamakan definisi peraturan perundangundangan dengan
pengertian Undang-Undang dalam arti meteriil, yaitu setiap keputusan tertulis
yang dikeluarkan pejabat yang berwenang yang berisi aturan tingkah laku yang
bersifat atau mengikat secara umum. Begitu halnya dengan T.J. Buys mengartikan
peraturan perundang-undangan sebagai peraturanperaturan yang mengikat secara
umum (algemeen bindende voorschriften). Pendapat ini oleh J.H.A.
Logemann ditambah dengan naar buiten werkende voorschriften, sehingga
menurutnya peraturan perundang-undangan adalah peraturan-peraturan yang
mengikat secara umum dan berdaya laku keluar (algemeen bindende en naar
buiten werkende voorschriften). Pengertian “berdaya laku keluar” adalah
bahwa peraturan tersebut ditujukan kepada masyarakat (umum) tidak ditujukan
kepada (ke dalam) pembentuknya. Pengertian peraturan
perundang-undangan di atas sesuai dengan definisi atau ruang lingkup yang
terdapat dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan perundang-undangan, yang menyatakan:
“Peraturan
perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara
atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum.”
Adapun
ciri-ciri dari suatu peraturan perundang-undangan menurut Satjipto Rahardjo,
adalah
1.
Bersifat umum dan komprehensif, yang dengan demikian merupakan kebalikan
dari sifat-sifat khusus dan terbatas;
2.
Bersifat universal, ia diciptakan untuk menghadapi peristiwa
yang akan datang yang belum jelas bentuk kongkritnya. Oleh karena itu, ia tidak
dapat dirumuskan untuk mengatasi peristiwa-peristiwa tertentu saja.
3.
Memiliki kekuatan untuk mengoreksi dan memperbaiki dirinya
sendiri. Dalam setiap peraturan, lazimnya mencantumkan klausul yang memuat
kemungkinan dilakukannya peninjauan kembali.
Berdasarkan
definisi yang telah diuraikan tersebut, penulis mempunyai kesimpulan bahwa
peraturan perundang-undangan adalah suatu keputusan tertulis yang dibentuk dan
ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang yang mengikat secara
umum dan mempunyai daya berlaku keluar.[4]
2.
Pengertian Undang-Undang[5]
Sebelum
perubahan terhadap UUD 1945, kekuasaan untuk membentuk undangundang yang mempunyai
peran utama adalah lembaga eksekutif (Presiden). Hal ini sesuai dengan Pasal 5
UUD 1945 (sebelum amandemen) bahwa: “Presiden memegang kekuasaan
membentuk undang-undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”.
Dapat disimpulkan bahwa secara formal RUU yang akan menjadi undang-undang harus
melalui persetujuan dari DPR. Perubahan terhadap UUD 1945 membawa dampak dalam
proses pembentukan undang-undang. Kewenangan yang sebelumnya dipegang oleh
eksekutif (Presiden), kemudian beralih kepada lembaga legislatif (DPR).
Undang-undang menurut Amiroeddin Sjarif adalah sebagai berikut:
“Undang-undang
adalah peraturan umum dan formal. Dibentuk oleh Pemerintah dengan persetujuan
Dewan Perwakilan Rakyat. Undang-undang mengatur persoalan-persoalan pokok dalam
rangka melaksanakan hukum dasar negara.”
Berdasarkan
pengertian di atas undang-undang merupakan produk bersama DPR dan Presiden.
Apabila salah satunya tidak ada (DPR atau Presiden), maka secara formal tidak
ada produk peraturan yang dinamakan undang-undang. Dengan demikian sebelum DPR
dibentuk, Presiden tidak mungkin mengajukan inisiatif untuk membentuk
undang-undang. Begitupun sebaliknya, DPR tidak mungkin membentuk undang-undang
selama jabatan Presiden belum diisi. Setelah proklamasi, pembentukan
undang-undang baru dimungkinkan setelah Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP)
yang dilaksanakan BPKNIP diberi kekuasaan legislatif, yaitu sebagai DPR(S).
Baru setelah dikeluarkan Maklumat Wakil Presiden No. X dimungkinkan untuk
membentuk undang-undang. Pada tanggal 23 November 1945 Presiden untuk pertama
kali menetapkan undangundang yaitu Undang-Undang No. 1 Tahun 1945 tentang
Komite Nasional Daerah. Undang-undang ini adalah undang-undang pertama Republik
Indonesia. Undangundang harus bersumber pada peraturan dasar (Fundamental
law) yaitu UUD 1945. Definisi undang-undang menurut I Gde Pantja Astawa dan
Suprin Na’a adalah:[6]
“Yang
dimaksud dengan undang-undang adalah legislative act atau akta hukum yang
dibentuk oleh lembaga legislatif dengan persetujuan bersama dengan lembaga
eksekutif.” Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan memberikan pengertian Undang-undang
adalah: “peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan
Rakyat dengan persetujuan bersama Presiden.”
Secara
keseluruhan dapat disimpulkan, bahwa undang-undang mengandung pengertian
sebagai suatu akta hukum berupa peraturan yang secara formal dibentuk oleh
Dewan Perwakilan Rakyat (Legislatif) dengan persetujuan bersama Presiden
(eksekutif). Tanpa peran dari kedua lembaga tersebut, undang-undang tidak akan
bisa dihasilkan. Peraturan
perundang-undangan adalah semua peraturan hukum yang berlaku umum dan mengikat
rakyat, biasanya disertai dengan sanksi, yang dibuat oleh lembaga tertentu dan
menurut prosedur tertentu pula.[22] Apabila kita
kaitkan
dengan
undang-undang, undang-undang merupakan jenis dari peraturan perundang-undangan.
Peraturan perundang-undangan dapat dikatakan sebagai proses pembentukan (proses
membentuk) peraturan-peraturan Negara, baik di tingkat pusat maupun daerah.
Dapat juga disebut sebagai segala peraturan Negara yang merupakan hasil
pembentukan peraturan-peraturan di tingkat pusat maupun di tingkat daerah. Berdasarkan
hal tersebut, maka undang-undang merupakan bagian atau merupakan jenis dari
peraturan perundang-undang, baik sebagai proses pembentukan peraturan negara
maupun segala peraturan Negara yang merupakan hasil pembentukan
peraturan-peraturan.