Selasa, 03 Februari 2015

LEMBAGA PEMBENTUK UNDANG-UNDANG DAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN



A. Lembaga Pembentuk Undang-Undang[1]
Seperti dijelaskan pada bagian sebelumnya, lembaga perwakilan rakyat atau parlemen disebut dengan berbagai macam istilah sesuai dengan bahasa yang dipakai di setiap negara. Bentuk, susunan, kedudukan, dan kewenangannya beragam sesuai dengan perkembangan kebutuhan setiap negara. Namun secara umum, lembaga perwakilan rakyat itu pada mulanya dipandang sebagai representasi mutlak warga negara dalam rangka ikut serta menentukan jalannya pemerintahan. Apa yang diputuskan parlemen, itulah yang dianggap sebagai putusan rakyat yang berdaulat. Dari sinilah lahir doktrin supremasi parlemen (the principle of supremacy of parliament). Dalam perspektif yang demikian, undangundang sebagai produk parlemen tidak dapat diganggu gugat apalagi dinilai oleh hakim. Hakim hanya berwenang menerapkannya bukan menilai apalagi membatalkannya. Di beberapa Negara, doktrin supremasi parlemen ini bahkan diwujudkan dalam pelembagaan Majelis Rakyat Tertinggi, seperti yang diterapkan di lingkungan negara-negara komunis. Sebelum bubarnya Uni Soviet, RCC, dan negara-negara Eropa Timur pada umumnya memiliki struktur parlemen yang memiliki kedudukan sebagai lembaga tertinggi dalam sistem struktur ketatanegaraan yang dianut. Sebaliknya di berbagai negara demokrasi liberal seperti Perancis, Inggris, dan Belanda, walaupun tidak dicerminkan dalam struktur kelembagaan parlemennya, prinsip supremasi parlemen itu dianut sangat kuat. Bahkan, sampai sekarang, Inggris dan Belanda masih menganut prinsip bahwa undang-undang buatan parlemen tidak dapat diganggu gugat oleh hakim, karena undang-undang itu adalah produk lembaga parlemen yang mewakili kepentingan rakyat yang berdaulat
Di atas sudah dijelaskan bahwa secara umum, ada 3 (tiga) prinsip perwakilan yang
dikenal di dunia, sebagai berikut:
1. Representasi politik (political representation)
2. Representasi teritorial (territorial representation)
3. Representasion fungsional (functional representation).
Pertama adalah perwakilan melalui prosedur partai politik sebagai salah satu pilar demokrasi modern. Namun, pilar partai politik ini dipandang tidak sempurna jika tidak dilengkapi dengan sistem “double-checks” sehingga aspirasi dan kepentingan seluruh rakyat benar-benar dapat disalurkan dengan baik. Oleh karena itu, diciptakan pula adanya mekanisme perwakilan daerah (regional representation atau perwakilan teritorial (territorial representation). Untuk negara-negara besar dan kompleks, apalagi negara-negara berbentuk feodal, sistem “double-cecks” ini dianggap lebih ideal, karena itu, banyak di antaranya mengadopsi keduanya dengan membentuk struktur parlemen bikameral atau dua kamar. Pertimbangan dibentuknya dua kamar atau dua institusi parlemen itu, sesuai dengan pengalaman sejarah di masing-masing negara, terkadang tidak didasarkan atas pertimbangan teritorial, melainkan didasarkan atas pertimbangan fungsional. Misalnya, di Inggris majelis tinggi yang disebut House of Lords dibedakan dari majelis rendah yang disebut House of Commons bukan berdasarkan prinsip representasi politik dan representasi teritorial, melainkan berdasarkan prinsip representasi fungsional. House of Lords mencerminkan keterwakilan fungsional, yaitu kelompok-kelompok tuan tanah dan para bangsawan Inggris yang dulunya
berkuasa mutlak, yang selanjutnya ditampung kepentingannya dalam wadah House
of Lords. Sementara itu, House of Commons mencerminkan keterwakilan rakyat secara politik melalui peranan partai politik sebagai pilar demokrasi. Tidak ada negara di dunia yang memiki tiga lembaga yang terpisah seperti DPR, DPD, dan MPR dalam cabang kekuasaan legislatif dalam arti luas. Legislatif dalam arti sempit, MPR memang tidak terlibat dalam pembentukan undang-undang, sehingga dapat dikatakan bahwa kekuasaan yang dimilikinya tidak termasuk ke dalam pengertian cabang kekuasaan legislative. Di Indonesia, fungsi lembaga perwakilan atau parlemen biasanya dibedakan ke dalam 3 (tiga) fungsi, yaitu:
1.      Fungsi legislasi (legislatif);
2.      Fungsi pengawasan (control); dan
3.      Fungsi anggaran (budget).[2]

Di sini penulis hanya menjelaskan fungsi DPR sebagai fungsi pembentuk undang undang (legislasi). Hal ini dikarenakan, supaya tidak melebarnya pembahasan dalam penelitian ini. Cabang legislatif adalah cabang kekuasaan pertama yang mencerminkan asas kedaulatan rakyat. Kegiatan bernegara, adalah pertama-tama untuk mengatur kehidupan bersama, karena itu, kewenangan untuk menetapkan peraturan harus diberikan kepada DPR. Fungsi pengaturan (regelende functie) ini berkenaan dengan kewenangan untuk menentukan peraturan yang mengikat warga negara dengan norma-norma hukum yang mengikat dan membatasi. Kewenangan ini pada pokoknya hanya dapat dilakukan sepanjang rakyat sendiri menyetujui untuk diikat dengan norma hukum tersebut. Cabang kekuasaan yang dianggap berhak mengatur hal-hal tersebut di atas pada dasarnya adalah DPR, maka undang-undang harus dibuat dan ditetapkan oleh DPR dengan persetujuan bersama Presiden. Dalam Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ditentukan bahwa:
Pada pokoknya, fungsi legislatif itu menyangkut empat bentuk kegiatan sebagai
Berikut:
1.      Prakarsa pembuatan undang-undang (legislative 1. initiation);
2.      Pembahasan rancangan undang-undang (law making process); Persetujuan atas pengesahan rancangan undang-undang (law enachtment approval);
3.  Pemberian persetujuan pengikatan atau ratifikasi atas perjanjian atau persetujuan internasional dan dokumen-dokumen hukum yang mengikat lainnya (binding decision making on international agreement and treaties or other legal binding documents).

Dalam berbagai peraturan perundang-undangan, fungsi legislasi ini biasanya memang dianggap yang paling penting. Sejak dulu, DPR biasa dibedakan menjadi dalam 3 (tiga) fungsi, yaitu: (a) fungsi legislasi, (b) fungsi pengawasan, dan (c) fungsi anggaran. Perbedaan ini, dapat dilihat dalam Undang-Undang tentang Susunan dan Kedudukan Anggota MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Dalam praktik di Indonesia, fungsi legislasilah yang dianggap utama, sedangkan fungsi pengawasan dan penganggaran adalah fungsi kedua dan ketiga sesuai dengan urutan penyebutannya dalam undang-undang dasar. Hal ini berdasarkan pada Pasal 20A ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945, bahwa : “Dewan Perwakilan Rakyat memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran dan fungsi pengawasan”. Fungsi legislasi mempunyai peran yang utama sebagai fungsi dalam membentuk undang-undang. Perubahan UUD 1945 membawa dampak yang positif terhadap peran DPR dalam membentuk undang-undang (fungsi legislasi). Perubahan ini dimaksudkan untuk memberdayakan DPR sebagai lembaga legislatif yang mempunyai kekuasaan membentuk undang-undang, karena peranan DPR sebelumnya hanya bertugas membahas dan memberikan persetujuan terhadap rancangan undang-undang yang
dibuat oleh Presiden (eksekutif). Perubahan UUD 1945 juga memberikan hak kepada anggota DPR untuk mengajukan rancangan undang-undang. Pergeseran kewenangan dalam membentuk undang-undang yang sebelumnya di tangan Presiden dialihkan kepada DPR, merupakan langkah konstitusional untuk meletakkan secara tepat fungsi lembaga negara sesuai dengan bidang tugasnya masing-masing, yakni DPR sebagai lembaga pembentuk undang-undang (kekusaan legislatif) dan Presiden sebagai lembaga pelaksana undang-undang (kekuasaan eksekutif).[11] Namun demikian, UUD 1945 juga mengatur kekuasaan Presiden di bidang legislatif, antara lain ketentuan bahwa pembahasan setiap rancangan undang-undang (RUU) oleh DPR dilakukan secara bersama-sama dengan Presiden. Dengan pergeseran kewenangan membentuk undang-undang itu, sesungguhnya ditinggalkan pula teori pembagian kekuasaan (distribution of power) dengan prinsip supremasi MPR menjadi pemisahan kekuasaan (separation of power) dengan prinsip saling mengawasi dan saling mengimbangi sebagai ciri yang melekat. Hal ini juga merupakan penjabaran untuk memperkuat system presidensial.

B. Pengertian Peraturan Perundang-undangan, Undang-undang dan Harmonisasi[3]
1. Pengertian Peraturan 2. Perundang-undangan
Peraturan perundang-undangan mulai dikenal dan tumbuh sejak saat berkembangnya organisasi yang memiliki kekuasaan dan wewenang tertinggi untuk menguasai dan mengatur kehidupan masyarakat, yaitu negara. Oleh karena itu, ada anggapan bahwa peraturan perundang-undangan tidak lain dari perwujudan kekuasaan dan kehendak yang berkuasa dalam bentuk hukum. Bagir Manan dan Kuntana Magnar menyatakan, bahwa :
“Peraturan perundang-undangan di sini diartikan setiap keputusan dalam bentuk tertulis yang dikeluarkan dan ditetapkan oleh pejabat yang berwenang dan mengikat umum (mencakup undang-undang dalam arti formal maupun material)”. Peraturan perundang-undangan adalah perwujudan kehendak dari pemegang kekuasaan tertinggi yang berdaulat, maka peraturan perundang-undangan merupakan hukum tertinggi dan adalah satu-satunya sumber hukum Dari pengertian tersebut dapat diartikan bahwa di luar peraturan perundang-undangan tidak ada sumber hukum yang lain. Di lain pihak Maria Farida Indrati Soeprapto mendefinisikan peraturan perundang-undangan ke dalam 2 (dua) pengertian, yaitu:
Pertama, sebagai proses pembentukan (proses membentuk) peraturan-peraturan negara, baik di tingkat pusat, maupun di tingkat daerah, dan
Kedua, sebagai segala peraturan negara yang merupakan hasil pembentukan peraturan-peraturan, baik di tingkat pusat, maupun di tingkat daerah.”
Sementara itu, Bagir Manan mempersamakan definisi peraturan perundangundangan dengan pengertian Undang-Undang dalam arti meteriil, yaitu setiap keputusan tertulis yang dikeluarkan pejabat yang berwenang yang berisi aturan tingkah laku yang bersifat atau mengikat secara umum. Begitu halnya dengan T.J. Buys mengartikan peraturan perundang-undangan sebagai peraturanperaturan yang mengikat secara umum (algemeen bindende voorschriften). Pendapat ini oleh J.H.A. Logemann ditambah dengan naar buiten werkende voorschriften, sehingga menurutnya peraturan perundang-undangan adalah peraturan-peraturan yang mengikat secara umum dan berdaya laku keluar (algemeen bindende en naar buiten werkende voorschriften). Pengertian “berdaya laku keluar” adalah bahwa peraturan tersebut ditujukan kepada masyarakat (umum) tidak ditujukan kepada (ke dalam) pembentuknya. Pengertian peraturan perundang-undangan di atas sesuai dengan definisi atau ruang lingkup yang terdapat dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan perundang-undangan, yang menyatakan:
Peraturan perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum.”
Adapun ciri-ciri dari suatu peraturan perundang-undangan menurut Satjipto Rahardjo, adalah
1.      Bersifat umum dan komprehensif, yang dengan demikian merupakan kebalikan dari sifat-sifat khusus dan terbatas;
2.      Bersifat universal, ia diciptakan untuk menghadapi peristiwa yang akan datang yang belum jelas bentuk kongkritnya. Oleh karena itu, ia tidak dapat dirumuskan untuk mengatasi peristiwa-peristiwa tertentu saja.
3.      Memiliki kekuatan untuk mengoreksi dan memperbaiki dirinya sendiri. Dalam setiap peraturan, lazimnya mencantumkan klausul yang memuat kemungkinan dilakukannya peninjauan kembali.

Berdasarkan definisi yang telah diuraikan tersebut, penulis mempunyai kesimpulan bahwa peraturan perundang-undangan adalah suatu keputusan tertulis yang dibentuk dan ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang yang mengikat secara umum dan mempunyai daya berlaku keluar.[4]

2. Pengertian Undang-Undang[5]
Sebelum perubahan terhadap UUD 1945, kekuasaan untuk membentuk undangundang yang mempunyai peran utama adalah lembaga eksekutif (Presiden). Hal ini sesuai dengan Pasal 5 UUD 1945 (sebelum amandemen) bahwa: “Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”. Dapat disimpulkan bahwa secara formal RUU yang akan menjadi undang-undang harus melalui persetujuan dari DPR. Perubahan terhadap UUD 1945 membawa dampak dalam proses pembentukan undang-undang. Kewenangan yang sebelumnya dipegang oleh eksekutif (Presiden), kemudian beralih kepada lembaga legislatif (DPR). Undang-undang menurut Amiroeddin Sjarif adalah sebagai berikut:
“Undang-undang adalah peraturan umum dan formal. Dibentuk oleh Pemerintah dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Undang-undang mengatur persoalan-persoalan pokok dalam rangka melaksanakan hukum dasar negara.”
Berdasarkan pengertian di atas undang-undang merupakan produk bersama DPR dan Presiden. Apabila salah satunya tidak ada (DPR atau Presiden), maka secara formal tidak ada produk peraturan yang dinamakan undang-undang. Dengan demikian sebelum DPR dibentuk, Presiden tidak mungkin mengajukan inisiatif untuk membentuk undang-undang. Begitupun sebaliknya, DPR tidak mungkin membentuk undang-undang selama jabatan Presiden belum diisi. Setelah proklamasi, pembentukan undang-undang baru dimungkinkan setelah Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang dilaksanakan BPKNIP diberi kekuasaan legislatif, yaitu sebagai DPR(S). Baru setelah dikeluarkan Maklumat Wakil Presiden No. X dimungkinkan untuk membentuk undang-undang. Pada tanggal 23 November 1945 Presiden untuk pertama kali menetapkan undangundang yaitu Undang-Undang No. 1 Tahun 1945 tentang Komite Nasional Daerah. Undang-undang ini adalah undang-undang pertama Republik Indonesia. Undangundang harus bersumber pada peraturan dasar (Fundamental law) yaitu UUD 1945. Definisi undang-undang menurut I Gde Pantja Astawa dan Suprin Na’a adalah:[6]
“Yang dimaksud dengan undang-undang adalah legislative act atau akta hukum yang dibentuk oleh lembaga legislatif dengan persetujuan bersama dengan lembaga eksekutif.” Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan memberikan pengertian Undang-undang adalah: “peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan persetujuan bersama Presiden.”
Secara keseluruhan dapat disimpulkan, bahwa undang-undang mengandung pengertian sebagai suatu akta hukum berupa peraturan yang secara formal dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat (Legislatif) dengan persetujuan bersama Presiden (eksekutif). Tanpa peran dari kedua lembaga tersebut, undang-undang tidak akan bisa dihasilkan. Peraturan perundang-undangan adalah semua peraturan hukum yang berlaku umum dan mengikat rakyat, biasanya disertai dengan sanksi, yang dibuat oleh lembaga tertentu dan menurut prosedur tertentu pula.[22] Apabila kita kaitkan
dengan undang-undang, undang-undang merupakan jenis dari peraturan perundang-undangan. Peraturan perundang-undangan dapat dikatakan sebagai proses pembentukan (proses membentuk) peraturan-peraturan Negara, baik di tingkat pusat maupun daerah. Dapat juga disebut sebagai segala peraturan Negara yang merupakan hasil pembentukan peraturan-peraturan di tingkat pusat maupun di tingkat daerah. Berdasarkan hal tersebut, maka undang-undang merupakan bagian atau merupakan jenis dari peraturan perundang-undang, baik sebagai proses pembentukan peraturan negara maupun segala peraturan Negara yang merupakan hasil pembentukan peraturan-peraturan.


[1] http://.wordpress.com/Lembaga pembentuki Undang Undang diakses tanggal 10 maret 2014
[2] Ibid
[3] http://.wordpress.com/peraturan perundang undangan diakses tanggal 10 maret 2014
[4] Ibid
[5] http://.wordpress.com/pengertian undang undang diakses tanggal 10 maret 2014
[6] Ibid

Kedudukan Perundang-undangan Negara



a. Tata Urutan Perundang-undangan
Berdasarkan azas “lex superiori derogat legi inferiori” yang maknanya hukum yang unggul mengabaikan atau mengesampingkan hukum yang lebih rendah. Maka
perlunya dijelaskan mengenai tata urutan perundang-undangan di Indonesia. BerdasarkanTAP MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan, tata urutan peraturan perundang-undangan Republik Indonesia adalah:
1.      Undang-Undang Dasar Negara Republik 1. Indonesia 1945
2.      Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu)
3.      Peraturan Pemerintah (PP)
4.      Peraturan Presiden (Perpres )
5.      Peraturan Daerah (Perda)
a)      Tingkat I (provinsi)
b)      Tingkat II (kabupaten / kota)
c)      Tingkat III (desa)
Dengan demikian peraturan daerah yang dikeluarkan oleh desa tidak boleh bertentangan dengan peraturan presiden. Begitu pula dengan peraturan pemerintah tidak boleh bertentangan dengan undang-undang. Maksudnya ketentuan yang tingkatnya lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan ketentuan yang leboh tinggi sesuai dengan urutan di atas.
1.      Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) merupakan hukum dasar tertulis Negara Republik Indonesia, memuat dasar dan garis besar hukum dalam penyelenggaraan negara.
2.   Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (TAP MPR-RI) merupakan putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai pengemban kedaulatan rakyat yang ditetapkan dalam sidang-sidang MPR.
3. Undang-Undang (UU) dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersama Presiden untuk melaksanakan UUD 1945 serta TAP MPR-RI
4.   Perpu dibuat oleh Presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, dengan ketentuan sebagai berikut:
1.      Perpu harus diajukan ke DPR dalam persidangan yang berikut.
2.      DPR dapat menerima atau menolak Perpu dengan tidak mengadakan perubahan.
3.      Jika ditolak DPR, Perpu tersebut harus dicabut
4.  Peraturan Pemerintah (PP) dibuat oleh Pemerintah untuk melaksanakan perintah undang-undang. 6. Keputusan Presiden (Keppres) yang bersifat mengatur dibuat oleh Presiden untuk menjalankan fungsi dan tugasnya berupa pengaturan

UUD 1945 PRA AMANDEMEN[2]
Latar belakang terbentuknya konstitusi (UUD 1945) bermula dari janji Jepang untuk memberikan kemerdekaan bangsa Indonesia. Jepang membentuk Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang bertugas merancang Undang-Undang Dasar 1945. Proklamasi tanggal 17 Agustus 1945 merupakan Ikrar Kemerdekaan Bangsa Indonesia dan lahirlah Negara Indonesia[3]. Sehari setelah itu, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) mengadakan sidangnya yang pertama kali dan menghasilkan beberapa keputusan sebagai berikut :
1.      Menetapkan dan mengesahkan pembukaan UUD 1945 yang bahannya diambil dari Rancangan Undang-Undang yang disusun oleh panitia perumus pada tanggal 22 Juni 1945;
2.    Menetapkan dan mengesahkan UUD 1945 yang bahannya hampir seluruhnya diambil dari RUU yang disusun oleh Panitia Perancang UUD tanggal 16 Juni 1945;
3.    Memilih ketua persiapan Kemerdekaan Indonesia Ir. Soekarno sebagai Presiden dan wakil ketua Drs. Muhammad Hatta sebagai wakil Presiden;
4.      Pekerjaan Presiden untuk sementara waktu dibantu oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang kemudian menjadi Komite Nasional.

Pengertian pokok tentang Undang-Undang Dasar 1945 yang dimaksudkan adalah keseluruhan  naskah yang terdiri dari :
a)      Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945;
b)      Batang Tubuh Undang-Undang Dasar 1945 yang terdiri 16 Bab berisi 37 pasal, 4 pasal Aturan Peralihan dan 2 ayat Aturan Tambahan;    
c)      Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945.

Konsekuensinya, UUD 1945 sebagai konstitusi itu melingkupi keseluruhan naskah
tersebut. Pada Penjelasan Umum, jelas-jelas disebutkan bahwa UUD 1945 merupakan hukum dasar. Dikaitkan dengan teorinya Hans Kelsen, “Stufentheorie”, atau theorie vom Stufenaufbau-nya Hans Nawiasky Pembukaan mengandung sejumlah tujuan Negara dan dasar falsafah bernegara yaitu Pancasila. Posisi Pancasila dalam UUD adalah sebagai norma dasar suatu negara (Staatsfundamentalnorm), yang memberikan landasan bagi Aturan Dasar. Sedangkan materi yang terdapat dalam pasal-pasal UUD 1945 merupakan Grundgezetze, norma dasar yang memiliki kekuatan mengikat kepada norma-norma hukum peraturan perundang-undangan, atau menggariskan tatacara membentuk peraturan perundang-undangan secara Umum. Dengan demikian, UUD 1945 memiliki kedudukan yang lebih tinggi daripada peraturan perundang-undangan yang lainnya. Pembentukan UUD 1945 pada awalnya bersifat sementara saja karena proses pembentukannya yang relatif singkat. Hal ini dapat diketahui melalui ayat (2) Aturan Tambahan. Secara jelas disebutkan bahwa akan dibentuk MPR yang memiliki wewenang untuk menetapkan UUD. MPR yang terbentuk akan mengadakan siding untuk membahas dan menetapkan UUD sebagai konstitusi Indonesia. Kenyataannya, sampai dikeluarkannya Dekrit Presiden, baik itu MPR atau MPRS atau Lembaga Konstituante tidak menghasilkan apa pun, sehingga diberlakukannya kembali UUD 1945 sebagai UUD. Padahal, BPUPKI bukanlah lembaga perwakilan karena BPUPKI merupakan badan bentukan Jepang. Meskipun demikian,
 BPUPKI dapat dikatakan sebagai lembaga perwakilan yang dapat dipersamakan dengan parlemen. Dalam pasal 3, mengatur tentang kewenangan MPR namun hanya terdapat tentang kewenangan menetapkan UUD bukan mengamandemen. Namun, dalam pasal 37 diatur tentang prosedur amandemen UUD. Pengaturan tentang amandemen tersebut juga sebatas posedur umum. Sedangkan untuk prosedur khususnya diatur lebih lanjut dengan peraturan perundang-undangan di bawahnya. Itu pun sebatas merubah/mengamandemen batang tubuh dan penjelasan. Khusus untuk pembukaan UUD 1945 mutlak tidak dapat diubah atau diamandemen, karena didalamnya terdapat falsafah negara yang merupakan dasar Negara. Meskipun demikian, UUD 1945 pada dasarnya lebih bersifat fleksibel, karena para pendiri bangsa sesungguhnya menghendaki adanya perubahan UUD 1945 dengan tujuan UUD 1945 lebih diharapkan terus hidup dan berkembang dalam masyarakat menjadi “The Living Constitution”, sehingga selalu memenuhi kebutuhan dan rasa keadilan dari masyarakat itu sendiri. Berdasarkan uraian di atas, UUD 1945 pra amandemen bersifat conditional, superior dan fleksibel.

UUD 1945 PASCA AMANDEMEN[4]
Undang-Undang Dasar 1945 adalah keseluruhan naskah yang terdiri dari pembukaan dan pasal-pasal (sesuai dalam pasal II Aturan Tambahan UUD 1945). Konsekuensinya, penjelasan tidak lagi menjadi bagian dari UUD. Meskipun demikian, penjelasan memiliki fungsi yang penting dalam rangka menjelaskan tentang norma yang terdapat dalam UUD 1945 sehingga seharusnya mengandung norma yang baru. Penjelasan Umum, disebutkan bahwa UUD 1945 merupakan hukum dasar. Dikaitkan dengan teorinya Hans Kelsen, “Stufentheorie”, atau theorie vom Stufenaufbau-nya Hans Nawiasky Pembukaan mengandung sejumlah tujuan Negara dan dasar falsafah bernegara yaitu Pancasila. Posisi Pancasila dalam UUD adalah sebagai norma dasar suatu negara (Staatsfundamentalnorm), yang memberikan landasan bagi Aturan Dasar. Sedangkan materi yang terdapat dalam pasal-pasal UUD 1945 merupakan Grundgezetze, norma dasar yang memiliki kekuatan mengikat kepada norma-norma hukum peraturan perundang-undangan, atau menggariskan tatacara membentuk peraturan perundang-undangan secara Umum. Hal ini ditunjukkan dalam pasal 7 UU No. 10 Tahun 2004. Dengan demikian, UUD 1945 memiliki kedudukan yang lebih tinggi daripada peraturan perundang-undangan yang lainnya.
Dalam pasal 3, mengatur tentang kewenangan MPR baik tentang kewenangan mengubah dan menetapkanUUD. Meskipun MPR bukan lembaga tertinggi Negara lagi namun MPR merupakan lembaga perwakilan (parlemen) yang oleh konstitusi diberi wewenang untuk mengubah dan menetapkan UUD. Pembentukan UUD kewenangannya tidak diberikan kepada lembaga legislatif karena lembaga legislative hanya memiliki kewenangan dalam membentuk UU dan kedudukan UU di bawah UUD. Sedangkan untuk prosedur amandemen yang diatur dalam pasal 37 terdapat prosedur khusus dengan ketentuan yang lebih kompleks. Dalam hal substansi perubahan/amandemen masih terdapat kesamaan dengan UUD 1945 pra amandemen, yaitu mutlak tidak diperbolehkan untuk merubah/mengamandemen pembukaan UUD 1945, karena didalamnya terdapat falsafah negara yang merupakan dasar Negara. Selain itu, ada hal lain yang tidak boleh diganti yaitu bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (pasal 37 ayat 5)). Dan ketentuan yang lebih spesifik diatur dengan peraturan perundang-undangan lainnya. UUD 1945 pasca amandemen lebih bersifat rigid. Hal ini dikarenakan persepsi penguasa yang sepakat untuk lebih mengkultuskan UUD 1945 sebagai kesatuan pemikiran dari mayarakat untuk memilih sesuatu yang ideal dalam hal-hal tertentu yang direfleksikan didalamnya. Selain itu, nilai historis yang terkandung dalam UUD 1945 membuatnya sebagai konstitusi memiliki kandungan rigiditas. UUD 1945 tidak lg dipandang sebagai peraturan perundang-undangan saja melainkan merupakan wibawa daripada suatu bentuk Hukum tertinggi dari suatu negara. Berdasarkan uraian di atas, UUD 1945 pasca amandemen bersifat conditional,superior dan rigid.


[1] http://.wordpress.com/kedudukan perundang undangan negara diakses tanggal 17 maret 2014
[2] http://.wordpress.com/undang undang pra amandemen diakses tanggal 17 maret 2014
[3] ibiid
[4] http://.wordpress.com/undang undang pasca amandemen diakses tanggal 17 maret 2014