Rancangan UU Pilkada tak langsung melalui DPRD yang telah disahkan oleh DPR RI
dalam beberapa waktu habis masa jabatan Presiden SBY . Tentu, UU pilkada ini
menuai banyak pro dan kontra dalam kalangan Masyarakat tanpa terkecuali
Mahasiswa. Mundurnya demokrasi dan kembalinya ke massa orde baru menjadi ramai
dibicarakan oleh kalangan mahasiswa terkait UU Pilkada tak langsung, ketakutaan
para masyarakat dan mahasiswa yang tidak bisa menyuarakan hak pilihnya menjadi
ketakutaan yang sangat besar yang dihadapi oleh masyarakat dengan ditetapkannya
UU Pilkada secara tak langsung.
Mengacu pada hasil polling Bestari yang dilakukan dari berbagai
Universitas dikota Malang, sebanyak 70,33% Mahasiswa mengetahui tentang UU
Pilkada secara tak langsung. Menanggapi hal itu, Hevi Kurnia Hardini selaku
ketua jurusaan Ilmu Pemerintahaan FISIP UMM, mengatakan bentuk dari dinamisnya
demokrasi di Indonesia, dan secara garis besar Mahasiswa mengetahui isi dari
Pilkada dan masalah isu Pilkada langsung atau tidak langsung. Setiap
keputusaan yang diambil oleh pemerintah, pasti ada pro dan kontra dari setiap
kalangan tanpa terkecuali mahasiswa yang merupakan agen dari perubahan Bangsa
Indonesia, sebanyak 77% Mahasiswa berpendapat tidak setuju dengan putusaan
terkait UU Pilkada tidak langsung dikarenakan mengurangi demokrasi dan
menggrogoti hak rakyat. Heavi menanggapi hal tersebut, beliau menjawab dengan
tataran akademisi pemilihan secara langsung maupun tidak langsung, secara
teoritis memang dibenarkan, dua’’nya adalah mekanisme demokrasi, dan tidak ada
kata’’ penistaan demokrasi dan penistaan hak public itu tidak ada. Dua’’nya mau
pemilihaan langsung maupun tidak langsung masih sesuai dengan koridor
demokrasi, dan Undang Undang Dasar 45 menyatakan bahwasanya kepala daerah dan
Presiden dipilih secara demokratis, demokratis masih masuk dalam koridor
demokrasi.
Selebih halnya
dengan masyarakat, mahasiswa diKota Malang memiliki pendapat yang tidak sepakat
dengan DPR RI, 69,33% responden berpendapat putusaan DPR RI mensyahkan UU pilkada
secara tidak langsung tidak sepakat dengan putusaan itu. Ketua jurusaan IP
berpendapat, hak mahasiswa untuk tidak sepakat dengan putusaan DPR RI, sah-sah
saja karena itu merupakan bagiaan dari control dan bagian dari dinamika
demokrasi. Tetapi demikiaan dari ranah mahasiswa memang berfikirnya masih dalam
tataran kritis contohnya”kenapa kamu tarik lagi?” memang kalau kita tarik dari
tahun 98, pilkada langsung disahkan tahun 2005, itu merupakan proses panjang
dari reformasi sistemik. Kalau memang diliat dari keteraturan reformasi
sistemik, dari atas dipilih langsung, kepala desa dipilih langsung harusnya
gubernur,kepala kabupaten dan kota secara sistemik harus dipilih langsung, agar
linear satu arah.
Oleh karena itu masyarakat dan mahasiswa dibukakan matanya
setiap individu punya hak memilih sendiri dan kemudiaan secara konseptual
secara system kita sudah merestui diri Negara kita presidensialisme murni yang
secara langsung harus dipilih langsung, tetap dalam keysnya beberapa Negara yang menggunakan presidensialisme murni itu
tidak sebegitunya,ada beberapa lini yang dipilih secara tidak langsung.
Mengembaliaan hak rakyat ini membutuhkan proses politik,biaya politik yang
sangat mahal sampai pada kemudiaan UU Pilkada. Jadi wajar saja jika respon
mahasiswa seperti itu, akan menjadi dinamika dan bagiaan control proses politik
dari civil society. Agar nanti
keputusaan yang dihasilkan benar’’ sesuai dengan permintaan dan kesepakatan
para pihak.
Banyak juga
mahasiswa yang berpendapat bahwa pemilu pilkada secara tidak langsung dapat
menghemat biaya APBD, sebanyak 54% responden menjawab hal tersebut, Hevy
mengatakan dari pertimbangan idealis sistemik memang ideal, yang harus digaris
bawahi dari hal tersebut merupakan pelaksanaan kalau dinilai dari efisensi dari
teknis pelaksaan pilkada kalau diliat dari sisi anggaran memang dapat
mengghemat biaya. Kalau ada yang berpendapat pilkada tidak langsung orangnya
itu’’ saja, dinastinya itu’’ saja, akan sama dengan pilkada langsung, jika
tidak diawasi dengan benar.
Jika UU Pilkada
secara tidak langsung tetap dijalankan, sebanyak 54,33% responden berpendapat
DPRD harus melihat prestasi kerja calon pemimpin daerah dalam menentukan kepala
daerah, melihat pendangan tersebut, ketua jurusaan IP FISIP UMM mengatakan,
kalau memang keputusaan proses perundang-undangan yang dihasilkan dari proses
hukum dan politik akhirnya tetap menetapkan pilkada secara tidak langsung yang
kemudiaan harus di implementasikan, masyarakat memberi solusi jika pemimpin
daerah harus mempunyai prestasi kerja yang sepadan dalam memimpin daerah, Sebanyak 65,33%
responden Mahasiswa berharap UU pilkada tidak langsung dapat memberikan
kontribusi yang nyata kepada rakyat, mengangapi hal tersebut Hevy mengatakan jika
pilkada tidak langsung baik dimata masyarakat, memiliki konstribusi nyata
lanjutkan, tetapi jika tidak evaluasi.
Harapan secara
pribadi kita harus memilah menegaskan kembali langsung tidak langsung dua’’nya
merupakan demokratis, tetapi kalau kemudiaan wacana tidak langsung ini kembali
digulirkan hasil dari evaluasi masyarakat harusnya digiring dalam hal apa saja
yang harus di evaluasi. Masyarakat, LSM, stake
Holder, Partai politik,akademisi tidak lepas tangan untuk terus memantau,
apa saja yang berlangsung, kalau memang pilkada tidak langsung diterapkan dan
menjadikan pemerintahan jauh lebih baik, harus didukung, tetapi jika 5 tahun
malah menghasilkan tirani tirani politik baru, seperti memilih ‘’kucing dalam
karung’’ harus kita evaluasi, Karera memang system peraturaan itu memang sangat
terikat dengan derajat demokrasi yang ada dimasyarakat,kebebasan masyarakat
untuk beropini dan keterbukaan pemerintah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar