Senin, 26 Januari 2015

Tolak Tegas Pilkada tak Langsung



Rancangan UU Pilkada tak langsung  melalui DPRD yang telah disahkan oleh DPR RI dalam beberapa waktu habis masa jabatan Presiden SBY . Tentu, UU pilkada ini menuai banyak pro dan kontra dalam kalangan Masyarakat tanpa terkecuali Mahasiswa. Mundurnya demokrasi dan kembalinya ke massa orde baru menjadi ramai dibicarakan oleh kalangan mahasiswa terkait UU Pilkada tak langsung, ketakutaan para masyarakat dan mahasiswa yang tidak bisa menyuarakan hak pilihnya menjadi ketakutaan yang sangat besar yang dihadapi oleh masyarakat dengan ditetapkannya UU Pilkada secara tak langsung.
Mengacu pada hasil polling Bestari yang dilakukan dari berbagai Universitas dikota Malang, sebanyak 70,33% Mahasiswa mengetahui tentang UU Pilkada secara tak langsung. Menanggapi hal itu, Hevi Kurnia Hardini selaku ketua jurusaan Ilmu Pemerintahaan FISIP UMM, mengatakan bentuk dari dinamisnya demokrasi di Indonesia, dan secara garis besar Mahasiswa mengetahui isi dari Pilkada dan masalah isu Pilkada langsung atau tidak langsung. Setiap keputusaan yang diambil oleh pemerintah, pasti ada pro dan kontra dari setiap kalangan tanpa terkecuali mahasiswa yang merupakan agen dari perubahan Bangsa Indonesia, sebanyak 77% Mahasiswa berpendapat tidak setuju dengan putusaan terkait UU Pilkada tidak langsung dikarenakan mengurangi demokrasi dan menggrogoti hak rakyat. Heavi menanggapi hal tersebut, beliau menjawab dengan tataran akademisi pemilihan secara langsung maupun tidak langsung, secara teoritis memang dibenarkan, dua’’nya adalah mekanisme demokrasi, dan tidak ada kata’’ penistaan demokrasi dan penistaan hak public itu tidak ada. Dua’’nya mau pemilihaan langsung maupun tidak langsung masih sesuai dengan koridor demokrasi, dan Undang Undang Dasar 45 menyatakan bahwasanya kepala daerah dan Presiden dipilih secara demokratis, demokratis masih masuk dalam koridor demokrasi.
Selebih halnya dengan masyarakat, mahasiswa diKota Malang memiliki pendapat yang tidak sepakat dengan DPR RI, 69,33% responden berpendapat putusaan DPR RI mensyahkan UU pilkada secara tidak langsung tidak sepakat dengan putusaan itu. Ketua jurusaan IP berpendapat, hak mahasiswa untuk tidak sepakat dengan putusaan DPR RI, sah-sah saja karena itu merupakan bagiaan dari control dan bagian dari dinamika demokrasi. Tetapi demikiaan dari ranah mahasiswa memang berfikirnya masih dalam tataran kritis contohnya”kenapa kamu tarik lagi?” memang kalau kita tarik dari tahun 98, pilkada langsung disahkan tahun 2005, itu merupakan proses panjang dari reformasi sistemik. Kalau memang diliat dari keteraturan reformasi sistemik, dari atas dipilih langsung, kepala desa dipilih langsung harusnya gubernur,kepala kabupaten dan kota secara sistemik harus dipilih langsung, agar linear satu arah.
Oleh karena itu masyarakat dan mahasiswa dibukakan matanya setiap individu punya hak memilih sendiri dan kemudiaan secara konseptual secara system kita sudah merestui diri Negara kita presidensialisme murni yang secara langsung harus dipilih langsung, tetap dalam keysnya beberapa Negara yang menggunakan presidensialisme murni itu tidak sebegitunya,ada beberapa lini yang dipilih secara tidak langsung. Mengembaliaan hak rakyat ini membutuhkan proses politik,biaya politik yang sangat mahal sampai pada kemudiaan UU Pilkada. Jadi wajar saja jika respon mahasiswa seperti itu, akan menjadi dinamika dan bagiaan control proses politik dari civil society. Agar nanti keputusaan yang dihasilkan benar’’ sesuai dengan permintaan dan kesepakatan para pihak.
Banyak juga mahasiswa yang berpendapat bahwa pemilu pilkada secara tidak langsung dapat menghemat biaya APBD, sebanyak 54% responden menjawab hal tersebut, Hevy mengatakan dari pertimbangan idealis sistemik memang ideal, yang harus digaris bawahi dari hal tersebut merupakan pelaksanaan kalau dinilai dari efisensi dari teknis pelaksaan pilkada kalau diliat dari sisi anggaran memang dapat mengghemat biaya. Kalau ada yang berpendapat pilkada tidak langsung orangnya itu’’ saja, dinastinya itu’’ saja, akan sama dengan pilkada langsung, jika tidak diawasi dengan benar.
Jika UU Pilkada secara tidak langsung tetap dijalankan, sebanyak 54,33% responden berpendapat DPRD harus melihat prestasi kerja calon pemimpin daerah dalam menentukan kepala daerah, melihat pendangan tersebut, ketua jurusaan IP FISIP UMM mengatakan, kalau memang keputusaan proses perundang-undangan yang dihasilkan dari proses hukum dan politik akhirnya tetap menetapkan pilkada secara tidak langsung yang kemudiaan harus di implementasikan, masyarakat memberi solusi jika pemimpin daerah harus mempunyai prestasi kerja yang sepadan dalam memimpin daerah, Sebanyak 65,33% responden Mahasiswa berharap UU pilkada tidak langsung dapat memberikan kontribusi yang nyata kepada rakyat, mengangapi hal tersebut Hevy mengatakan jika pilkada tidak langsung baik dimata masyarakat, memiliki konstribusi nyata lanjutkan, tetapi jika tidak evaluasi.
Harapan secara pribadi kita harus memilah menegaskan kembali langsung tidak langsung dua’’nya merupakan demokratis, tetapi kalau kemudiaan wacana tidak langsung ini kembali digulirkan hasil dari evaluasi masyarakat harusnya digiring dalam hal apa saja yang harus di evaluasi. Masyarakat, LSM, stake Holder, Partai politik,akademisi tidak lepas tangan untuk terus memantau, apa saja yang berlangsung, kalau memang pilkada tidak langsung diterapkan dan menjadikan pemerintahan jauh lebih baik, harus didukung, tetapi jika 5 tahun malah menghasilkan tirani tirani politik baru, seperti memilih ‘’kucing dalam karung’’ harus kita evaluasi, Karera memang system peraturaan itu memang sangat terikat dengan derajat demokrasi yang ada dimasyarakat,kebebasan masyarakat untuk beropini dan keterbukaan pemerintah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar